Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, hari ini, Kamis (28/12/2017), kembali menggelar sidang kasus korupsi proyek KTP Elektronik dengan terdakwa Setya Novanto.
Pada sidang lanjutan, Majelis Hakim yang dipimpin Yanto, memberi kesempatan Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan tanggapan atas eksepsi terdakwa.
Menurut Jaksa KPK, sejumlah poin keberatan yang disampaikan pengacara Novanto tidak nyambung, atau tidak tepat.
Bahkan, Jaksa KPK sempat menyindir tim pengacara Novanto tidak memahami kaidah dan asas hukum acara pidana, khususnya terkait penyusunan surat dakwaan dan ruang lingkup eksepsi.
Salah satunya soal penetapan tersangka Novanto untuk kedua kalinya yang dianggap tidak sah, karena sebelumnya putusan praperadilan memerintahkan KPK menghentikan penyidikan.
Abdul Basir Jaksa KPK mengatakan, sah atau tidaknya penetapan tersangka merupakan wewenang hakim praperadilan, bukan di ranah eksepsi.
“Dalil sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan ranahnya eksepsi, tapi wewenang hakim praperadilan untuk menilai dan memutuskannya. Kalau penasihat hukum berpikir seorang tersangka yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak bisa dijadikan tersangka lagi atau tidak sah, itu pemikiran yang keliru,” ujarnya di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, dikabulkannya permohonan praperadilan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
Dalam persidangan, Jaksa KPK juga menjawab soal splitsing atau pemisahan berkas perkara pidana yang dipermasalahkan tim kuasa hukum Setya Novanto.
Jaksa menganalogikan pencurian di sebuah rumah yang dilakukan dua orang pelaku. Tapi, penyidik baru bisa mengungkap seorang pelaku, sedangkan pelaku lainnya kabur.
Dalam kondisi seperti itu, kata Basir, penyidik dan penuntut umum tetap memroses pelaku pertama dengan dakwaan melakukan tindak pidana secara bersama-sama.
Tapi, dalam tanggapan atas eksepsi Novanto, Jaksa KPK tidak menjelaskan soal hilangnya sejumlah nama politisi yang diduga menerima uang korupsi KTP Elektronik, seperti tercantum dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto.
Sesudah berlangsung sekitar 1 jam, majelis hakim memutuskan akan melanjutkan sidang hari Kamis (4/1/2018), dengan agenda pembacaan putusan sela.
Sebelum menutup sidang, majelis hakim mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk memeriksa kesehatannya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, Jumat (29/12/2017).
Selain itu, hakim juga mengabulkan izin besuk tambahan buat Novanto, dan memberikan izin penuntut umum meminjam terdakwa sebagai saksi buat tersangka korupsi KTP Elektronik lainnya. (rid/ipg)