Ada banyak kampung lawas di Surabaya yang menyimpan jejak kesejarahan luhur. Salah satunya Kampung Peneleh yang menyimpan aspek sejarah kepahlawanan maupun bangunan kuno bersejarah lainnya. Dulu, kampung ini bagai oase tokoh bangsa untuk menimba ilmu dan kebijaksanaan.
Bentangan sejarah itu diantaranya berada di kediaman Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto, rumah kelahiran Bung Karno, masjid tua peninggalan Sunan Ampel, toko buku Peneleh, dan makam Belanda. Semua itu menjadi penanda jejak kampung lama di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.
Rumah sederhana milik HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gg VII itu dulu menjadi rumah belajar para tokoh muda perintis kemerdekaan, termasuk Soekarno. HOS Tjokroaminoto lahir di Tegalsari, Ponorogo, 16 Agustus 1882. Ia dikenal sebagai tokoh nasionalis. Is juga dikenal sebagai muassis atau pentolan organisasi politik, Sarikat Islam.
Bekas rumah Pahlawan nasional ini bernuansa Jawa dan sederhana. Tapi dibalik kesederhanaannya rumah ini menyimpan ribuan kisah perjuangan anak-anak muda yang menjadi muridnya dan kelak bermetamorfosis menjadi orang penting di negeri ini.
Rumah itu dibangun pada 1870-an dengan nuansa khas Jawa. Bagian depan terdapat pagar setinggi 1 meter dilengkapi empat pilar dari kayu, menyokong bagian atap. Lantai rumah berwarna kuning kecokelatan bercampur merah marun, menjadi alas penghias rumah lawas yang bersahaja.
Berada di ruang tamu, kita seolah sedang larut di masa hidupnya. Ada empat buah kursi kuno berbahan jati serta meja pelengkap, tersusun rapi di sebelah kanan ruangan. Sebuah rak peralatan rumah tangga yang juga dari kayu jati, berada di dekat kursi tamu dan berhimpit dengan tembok. Di bagian atas rak, ada 5 foto kuno, yang kesemuanya memperlihatkan aktifitas HOS Tjokroaminoto semasa aktif di Sarikat Islam.
Di bagian lain, kita akan menemui dua kamar yang saling berhadapan. Di sisi kiri, ada kamar yang dahulu merupakan kamar kos.
HOS Tjokroaminoto dahulu memang menyediakan sebagian kamar rumahnya sebagai tempat indekos. Rata-rata mereka yang indekos kaum pelajar yang datang dari berbagai kota. HOS Tjokroaminoto bersama istrinya, RA Suharsikin dan anak-anaknya, menempati kamar lainnya yang menghadap searah.
Di bagian belakang, kita akan melihat kumpulan foto anak-anak muda yang pernah indekos di situ. Ada foto Bung Karno, Muso, Semaun, dan Kartosuwiryo. Uniknya, ada sebuah kamar yang menyatu dengan bagian atap. Diceritakan, itulah kamar tidur Bung Karno. Selain sebagai ruang tidur, di situlah dulu HOS Tjokroaminoto sering mengajar murid-muridnya.
Maulisa Nusiara Kabid Kebudayaan Disbudpar Surabaya mengisahkan, dulu Bung Karno selalu menggunakan ruang atas itu sebagai tempat belajar. Bung Karno, Muso, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka dan Kartosuwiryo, merupakan murid-murid HOS Tjokroaminoto.
Namun, karena perbedaan ideologi politik, mereka pun berkiprah dengan takdirnya masing-masing. Jalan hidup mereka berbeda. Sukarno menjadi seorang nasionalis dan proklamator RI. Muso yang pernah hidup lama di Soviet, memilih menjadi penggerak pemberontakan PKI 1948 di Madiun.
Semaun pernah menjadi tokoh penting di awal PKI tumbuh. Kartosuwiryo mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949. Sementara Tan Malaka dikenal sebagai aktifis pergerakan untuk kemerdekaan.
Di rumah sederhana itu, mereka biasa berkumpul untuk berdikusi, berdebat, bercengkerama maupun belajar ilmu agama dari sang mentor; yakni HOS Tjokroaminoto. Rumah sederhana itu, kata Icha, penggilan akrab Maulisa Nusiara, sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
“Pengelolaannya sudah diserahkan kepada Pemkot Surabaya dan kini dijadikan sebagai jujugan para wisatawan,” jelasnya kepada Majalah SCG.
Sejak 2009, bangunan ini telah ditetapkan oleh Pemkot Surabaya sebagai kawasan destinasi wisata sejarah. Baru-baru ini, Senin (27/11/2017) Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya meresmikan bangunan itu sebagai museum HOS Tjoktoaminoto.
Dalam sambutannya, wali kota menyampaikan bahwa museum HOS Tjokroaminoto tersebut belum sempurna. Karenanya, pemkot akan terus berupaya menyempurnakan dengan melengkapi isi museum itu.
“Ini memang belum sempurna. Ke depan akan terus kami sempurnakan sehingga jadi aset wisata pahlawan di Surabaya,” kata Risma. Salah satu yang akan disempurnakan, dia meminta kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan Kota Surabaya agar membuat museum ini mudah dimengerti oleh anak-anak.
Misalnya, dengan membuatkan media interaksi sehingga anak-anak senang dan lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan.
Sementara ini, sebagai kelengkapan destinasi wisata, di rumah itu juga dilengkapi dengan beragam buku sejarah dan barang-barang peninggalan yang dijaga otentikasinya. Salah satunya bacaan utama dengan sisi kesejarahan HOS Tjokroaminoto dan murid-muridnya, yakni buku karangan Cyndy Adams.
Selain rumah HOS Tjokroaminoto, ada beberapa spot lain yang juga menyimpan cerita menarik di Peneleh. Karena lokasinya tidak menyatu, perlu menyediakan waktu khusus demi kenyamanan Anda sendiri. Kalau rumah HOS Tjokroaminoto berada di Jl. Peneleh Gg VII no. 29-31, rumah kelahiran Bung Karno ada di Jl. Pandean Gg IV no. 40.
Sementara Toko Buku Peneleh berada di Jl. Peneleh Gg VII. Masjid peninggalan Sunan Ampel terdapat di Jl. Peneleh Gg IV, dan Makam Belanda di Jl. Makam Peneleh Surabaya.(den/rst)
Teks Foto:
– Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya setelah meresmikan Rumah HOS Tjokroaminoto sebagai Museum Khusus, Senin (27/11/2017).
– Risma saat meninjau pakaian yang biasa dikenakan oleh HOS Tjokroaminoto yang menjadi koleksi museum.
(Foto: Humas Pemkot Surabaya)