Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban Prof. Din Syamsuddin menjadi pembicara pada The 9th World Chinese Economic Summit (Pertemuan Puncak Ekonomi China) di Hongkong. Pertemuan Puncak tersebut merupakan agenda tahunan para Tionghoa diaspora dari seluruh dunia.
Pertemuan ke-9 di Hongkong yang berlangsung 13-14 November 2917 dihadiri sekitar 350an Tionghoa diaspora yang mayoritas terdiri dari pengusaha.
Pertemuan kali ini mengangkat tema Managing Global Uncertainty, Exploring Opportunities atau “Mengelola Ketakpastian Dunia, Mengungkap Peluang-peluang”.
Din Syamsuddin yang sebagai Utusan Khusus Presiden, menjadi salah seorang panelis pada Sesi Pertama tentang Amerika Serikat, China, dan Optimisme Menghadapi ketidakpastian dunia.
Dalam presentasinya Din Syamsuddin mengatakan bahwa memang dunia tengah menghadapi bukan hanya ketakpastian tapi juga kekacauan serta kerusakan akumulatif.
Menurutnya, hal ini sebenarnya berpangkal pada Sistem Dunia (World System) yang rancu. Kerancuan itu, tandas Din Syamsuddin, menurunkan sub-sub sistem dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang juga mengandung kerancuan.
Solusi terhadap kerusakan peradaban dunia tersebut menurut Din Syamsuddin, adalah dengan mengubah Sistem Dunia itu sendiri.
Selama ini Sistem Dunia terlalu berwajah antroposentris (menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran), dan kurang berwajah teosentris (Tuhan sebagai pusat kesadaran).
Akibatnya, peradaban dunia kering-kerontang dari nilai-nilai etika dan moral. Dalam bidang ekonomi terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan kemudian menciptakan kesenjangan serta ketakadilan.
Dalam bidang politik terjadi proses zero sum game, yakni kecenderungan saling menafikan dan mendominasi yg sering menimbulkan konflik. Begitu pula dalam bidang budaya merajalela budaya liberal dan hedonis.
Ketika ditanya moderator, negara mana yang tepat dan selama dua dasawarsa terakhir menerapkan kekuatan lembut (soft power), Din secara spontan menyebut Indonesia.jawaban Din ini langsung disambut tepuk tangan sebagian peserta yang memenuhi ballroom Shangrila Hotel, Hongkong.
Dalam jawabannya, Din Syamsuddin yang juga sebagai Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta ini menjelaskan, bahwa untuk menanggulangi kerusakan dunia yang bersifat akumulatif, diperlukan negara atau koalisi negara-negara dengan posisi tengahan (median position).
Indonesia, dalam hal ini merupakan negara dengan posisi tengahan dan orientasi jalan tengah (the middle way).
Dalam kaitan kebangkitan China dewasa ini, Din Syamsuddin menegaskan harus diselenggarakan dalam suatu wawasan kawasan Asia Timur dan lewat mekanisme internasional.
Jika tidak demikian, tandas kebangkitan China dgn ambisi One Belt One Road (OBOR) akan potensial menimbulkan ketegangan dunia karena China hanya melanjutkan perilaku Amerika Serikat yang hegemonik.
Din Syamsuddin menyerukan agar budaya hubungan internasional berlangsung atas semangat dialog dan kerjasama yang saling menguntungkan, dan berorientasi pada kesadaran akan Satu Kemanusiaan, Satu Tujuan, dan Satu Tanggung Jawab (One Humanity, One Destiny, One Responsibility). (jos/dwi)