Para penulis dan penyair muda Indonesia dipilih untuk mengisi sesi sastra dalam Festival Europalia yang diselenggarakan di Belgia dan di beberapa negara Eropa sejak 10 Oktober 2017 hingga 21 Januari 2018.
“Penulis dan karya sastra Indonesia harus dipromosikan, penting bagi kami untuk juga memperkenalkan para penulis milenial sehingga publik internasional tidak hanya mengenal penulis besar Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer,” ujar Melani Budianta kurator sastra Festival Europalia saat diskusi “Potensi Generasi Milenial dalam Skala Internasional” yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Selasa (7/11/2017).
Ayu Utami, Laksmi Pamuntjak, Lily Yulianti Farid, Intan Paramaditha, Norman Erikson Pasaribu, Ben Sohib, Margareta Astaman, Tan Lioe Ie, Zubaidah Djohar, dan Godi Suwarna adalah penulis yang mendapat kesempatan mempresentasikan karya mereka di hadapan publik Eropa.
Karya-karya mereka bukan saja dinilai sangat potensial untuk menunjukkan “wajah” Indonesia tetapi juga secara kritis mengangkat tema seputar multikulturalisme, globalisasi, toleransi, gender, dan keberagaman.
Godi Suwarna misalnya, dengan konsisten menciptakan puisi-puisi berbahasa Sunda yang mengangkat kehidupan kaum kosmopolitan di kawasan pedesaan dan perkotaan Jawa Barat.
Pilihan seniman berambut gondrong itu untuk selalu menggunakan bahasa tradisional menunjukkan keberagaman budaya Indonesia yang memiliki lebih dari 700 bahasa, namun di saat bersamaan juga membangkitkan kesadaran atas fakta bahwa bahasa-bahasa tersebut banyak yang mati karena tidak dilestarikan.
Untuk memudahkan pemahaman penonton, penyelenggara Festival Europalia telah menerjemahkan puisi-puisi Godi dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Belanda.
“Tetapi yang lebih penting daripada makna puisinya adalah bagaimana para penonton bisa merasakan, karena itu tiga penyair yang kami pilih juga merupakan penampil yang menggunakan medium musik dan tari untuk menunjukkan karyanya. Jadi tidak sekadar membacakan puisi dengan gaya deklamasi,” ujar Melani seperti dilansir Antara.
Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu menganggap Festival Europalia sebagai langkah kecil untuk membangun interaksi dan pemahaman antara masyarakat Eropa, terutama Belgia dan Indonesia.
“Meskipun kita punya hubungan sejarah yang panjang dengan Belgia, sebetulnya masyarakat kedua negara ini kurang mengenal satu sama lain,” kata dia.
Melalui berbagai program sastra yang diselenggarakan di universitas-universitas, kafe, serta perpustakaan, ia berharap festival seni internasional ini bisa menjadi proses belajar baik untuk warga Belgia maupun Indonesia.(ant/ipg)