Jumat, 22 November 2024

Ransomware Masih Jadi Ancaman Terbesar Dunia Digital

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan

Serangan siber peranti lunak, Ransomware masih menjadi ancaman terbesar dunia digital yang saat ini tengah diadopsi nyaris di seluruh sektor, mulai dari pemerintahan hingga ekonomi.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Pengembangan Pasar Asia Pasifik Irdeto, Bradley Prentice, di Jakarta, Rabu (25/10/2017). Ini adalah perusahaan penyedia jasa perlindungan siber yang berpusat di Amsterdam.

“Ransomware masih menjadi ancaman terbesar dalam dunia digital saat ini, khususnya di kala nyaris semua aspek terhubung dalam jaringan, atau biasa dikenal dengan Internet of Things (IoT),” kata Bradley sebelum menghadiri pembukaan temu puncak Ekonomi Digital di Jakarta International Expo (Jiexpo) seperti dilansir Antara.

Di samping pembajakan data dan pencurian informasi (copying atau redirected distribution), ransomware merupakan salah satu serangan siber yang saat ini tengah banyak terjadi.

“Mulai dari laman resmi pemerintah, hingga perusahaan rentan terkena Ransomware. Serangan itu cukup umum, dan patut mendapat perhatian,” terang Prentice.

Dalam kesempatan itu, ia menjelaskan, sistem kerja Ransomware sederhana, misalnya, seorang pembajak (hackers) akan meretas laman tertentu dan meminta sejumlah uang ke pemiliknya agar website tersebut dapat kembali normal.

“Cara kerjanya sederhana, peretas akan masuk ke dalam suatu sistem, dan meminta bayaran (ransom) sebagai tebusan untuk lamannya agar kembali bekerja seperti sedia kala,” kata dia.

Sebenarnya, ia menambahkan, cara kerja Ransomware tidak jauh berbeda dari modus para oknum yang kerap menyabotase produk tertentu agar mendapat citra buruk dari publik.

“Dulu sebelum internet berkembang pesat seperti saat ini, ada modus kejahatan yang disebut product tampering. Aksi itu adalah upaya individu atau sekelompok orang menyabotase barang tertentu yang baru diproduksi agar mendapat citra buruk dari masyarakat,” kata dia.

Di Amerika Serikat, kata dia, sempat terjadi, sekelompok orang menyuntikkan racun ke obat pereda sakit kepala, dan menyebarkannya ke berbagai toko. Nahas, beberapa orang dikabarkan meninggal, dan hasil autopsi menunjukkan, kematian disebabkan obat sakit kepala tersebut.

Akibatnya bukan cuma korban jiwa, tetapi perusahaan obat itu pun kolaps.

“Di sisi lain, kebanyakan pelaku melakukan kejahatan tersebut demi uang (ransom). Saat itu, tidak hanya korban jiwa, tetapi perusahaan merugi hingga jutaan dolar. Mungkin prosesnya saat ini agak berbeda, tetapi motifnya terkait dengan uang,” tambahnya.

Ia menerangkan, perbedaannya saat ini, kebanyakan aksi para peretas tidak menyebabkan kematian, tetapi hanya ingin menciptakan ketidaknyamanan, dan rasa khawatir para konsumen.

“Kebanyakan mereka ingin membuat para konsumen tidak nyaman. Misalnya, ada modus baru yang terjadi di perusahaan otomotif. Sebut saja, tiba-tiba 10 ribu mobil di Indonesia yang sudah terhubung dengan internet diretas, hingga mengalami kerusakan minor, hingga mereka harus membawanya ke dealer,” terang Bradley.

Di saat dealer ini tengah menerima keluhan dari pengguna puluhan ribu mobil, ia lanjut menjelaskan, peretas itu menelpon dan menawarkan bantuan.

“Peretas itu mengatakan, daripada dealer mobil harus mengeluarkan uang 10 juta dolar untuk memperbaiki kerusakan, dirinya dapat membantu mengatasi masalah hanya jika penjual tersebut memberinya uang satu juta dolar,” katanya.

“Modus semacam itu harus diperhatikan saat ini, khususnya di saat nyaris seluruh aspek di dunia telah terkoneksi ke internet,” kata dia. (ant/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs