Kombes Pol Martinus Sitompul Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri mengatakan isu adanya gerakan komunisme yang marak berhembus akhir-akhir ini, tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
“Siapa aktornya? Tidak ada,” kata Kombes Martinus dalam Kegiatan Forum Diskusi Grup (FGD) Mencegah Gerakan Radikal di Polres Tebing Tinggi, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Rabu (20/9/2017) seperti dilansir Antara.
Kombes Martinus mengatakan perlunya masyarakat mewaspadai ancaman komunisme. Kendati demikian ternyata isu komunisme yang kerap beredar hanyalah informasi bohong yang disebarkan di media sosial untuk memicu terjadinya praktik intoleransi di masyarakat.
“Sehingga kita jadi terinspirasi melakukan kekerasan, intoleransi,” katanya.
Martinus berujar bahwa isu adanya kelompok yang melakukan gerakan komunisme ini kenyataannya tidak ada.
“Tidak dalam wujud satu kelompok, satu gerakan,” katanya.
Ia mencontohkan terjadinya kasus aksi demo yang berujung kericuhan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Kasus tersebut berawal dari informasi bahwa ada pembicara komunis di acara LBH. Kemudian informasi ini tersebar dengan cepat melalui internet dan medsos.
“Penggerebekan di LBH ternyata (didorong) hoaks di dalamnya. Tidak ada pembicara komunis,” katanya.
Pihaknya pun meminta masyarakat mewaspadai informasi sensitif yang berkembang di medsos karena belum bisa dipastikan kebenarannya.
“Teknologi juga berperan dalam memecah belah. Siapa yang kemudian menjadi korbannya? Ya masyarakat, ya polisi,” katanya.
Sebelumnya, petugas Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Pusat membubarkan secara paksa aksi demo sekelompok massa yang merangsek ke acara pertunjukan kesenian di LBH Jakarta pada Senin (18/9/2017) dinihari.
Petugas juga membubarkan pertunjukan kesenian dan kebudayaan di LBH Jakarta lantaran tidak mengantongi izin dari kepolisian.
Akibat kericuhan itu, lima anggota kepolisian mengalami luka dan kerusakan pada fasilitas umum termasuk kendaraan operasional Polri.
Polisi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut.
Ketujuh orang itu dijerat Pasal 216 dan Pasal 218 KUHP lantaran melawan kewenangan aparat dengan ancaman hukuman maksimal empat bulan penjara. (ant/dwi)