Inggris menangguhkan kursus pelatihan pendidikan untuk militer Myanmar karena kekerasan etnis yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine.
London menyatakan “keprihatinan mendalam” mengenai pelanggaran hak asasi manusia di sana dan tidak akan melanjutkan latihan militer kecuali jika ada “resolusi yang bisa diterima” terhadap krisis Rohingya yang sedang berlangsung.
Kekerasan komunal melanda negara bagian Rakhine di Myanmar sejak militan minoritas muslim Rohingya melancarkan serangan mematikan terhadap pos polisi pada 25 Agustus.
Serangan balasan angkatan darat telah merenggut banyak nyawa dan menyebabkan lebih dari 420.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
“Aksi militer yang dilakukan terhadap warga Rohingya harus dihentikan,” kata Perdana Menteri Inggris Theresa May kepada Sky News Inggris di New York, seperti dikutip Antara.
“Tidak akan ada perjanjian pertahanan atau latihan militer Burma lebih lanjut oleh Kementerian Pertahanan sampai ada resolusi untuk isu ini.”
Di London, juru bicara pemerintah mengatakan dalam satu pernyataan: “Dengan kekerasan yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine, Burma, krisis kemanusiaan yang disebabkannya, dan keprihatinan kami mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, kami memutuskan untuk menangguhkan kursus pendidikan bagi militer Burma sampai ada resolusi yang bisa diterima bagi situasi terkini.”
“Kami menyeru pasukan angkatan darat Burma segera mengambil langkah untuk menghentikan kekerasan di Rakhine dan memastikan perlindungan seluruh warga sipil, mengizinkan akses penuh bagi bantuan kemanusiaan dan memfasilitasi pemerintah sipil sepenuhnya menerapkan rekomendasi Rakhine Advisory Commission”.
Komisi berusia setahun pimpinan bekas Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan itu berutgas memulihkan perpecahan antara warga Rohingya dan warga Buddha setempat, mendesak tindakan segera untuk memulihkan perpecahan itu. (ant/fik/ipg)