Sabtu, 23 November 2024

Perpres PPK Tidak Berarti Jika Petunjuk Teknisnya Membingungkan

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan

Kalangan DPR mengapresiasi terbitnya Perpres No.87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) atau yang dikenal dengan sebutan Full Day School (FDS). Karena Perpres ini menjawab keresahan masyarakat soal FDS yang dikeluarkan oleh Muhadjir Effendy Mendikbud.

“Tapi, Perpres itu tak berarti apa-apa kalau Peraturan Menteri atau Permen-nya dan petunjuk teknisnya di lapangan membingungkan masyarakat. Karena itu, Permennya jangan sampai membingungkan,” ujar Reni Marlinawati Wakil Ketua Komisi X DPR RI dalam diskusi Dialektika Demokrasi di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (7/9/2017).

Dalam Dialektika Demokrasi yang mengambil tema “Perpres Pendidikan Berkarakter Efektif?, hadir Narasumber lainnya seperti Syaikhul Islam Ali anggota FPKB DPR RI, Saleh Partaunan Daulay (FPAN), Puti Guntur Soekarno (FPDIP), dan Retno Listyarti Komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Syaikhul menilai jika Perpres itu menjawab lembaga pendidikan madrasah dan pesantren yang selama ini berhasil mencetak pendidikan karakter bangsa.

“Jadi, FPKB berterima kasih kepada Jokowi Presiden yang telah mendengar keresahan madrasah atas FDS,” ujar dia.

Apalagi kata Syaikhul, selama ini ada ketidakadilan anggaran pendidikan agama dibanding pendidikan umum. Dia menilai sekolah agama selama ini dianaktirikan. Padahal, sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Jadi, Jokowi Presiden mendengar suara NU,” tegasnya.

Sementara Saleh Daulay mengatakan, anggaran untuk Kemenag RI per tahun Rp 46 triliun. Anggaran itu untuk seluruh sekolah agama (UIN, MAN, MTsN, MIN) dan lain-lain. Sudah termasuk untuk gaji dosen, guru, biaya penelitian dan sebagainya.

“Peneliti di UIN saja hanya Rp 1 miliar. Sedangkan untuk penelitian di sekolah umum bisa mencapai puluhan dan ratusan miliar rupiah. Maka, tak salah kalau anggaran itu dibagi dengan pendidikan agama sebagai basis pendidikan karakter,” jelasnya.

Puti Guntur Soekarno. Menjelaskan setidaknya, Perpres itu menjadi payung hukum untuk membentuk generasi emas pada tahun 2045 mendatang. Sehingga akan terbangun kompetensi, kompetisi, dan tanggung jawab bagi anak didik yang berkualitas. Namun, tanggungjawab pendidikan itu bukan hanya pada sekolah, tapi masyarakat dan keluarga.

Sementara Retno Listyarti juga mengapresiasi Perpres tersebut karena sesuai dengan komitmen Ki Hajar Dewantoro, dimana tempat terbaik pendidikan karakter itu di sekolah. Sehingga dari sekolah akan terbangun budaya sekolah dan semua yang bertanggungjawab terhadap sekolah (kepala sekolah, guru, tukang sapu, dan lainnya) harus baik, agar semua siswa-siswinya bisa menyontoh dengan baik.

“Tak mungkin semua aturan pendidikan karakter itu diterapkan di sekolah, sehingga selebihnya ada pada keluarga dan masyarakat. Tak bisa hanya minta anak jujur, tanpa ada contoh dari guru, orang tua dan masyarakat. Sekolah pun harus serentak menerapkan pendidikan karakter itu kalau ingin berhasil,” kata Retno.

Untuk menunjang PPK dengan baik, kata Retno, infrastruktur sekolah maupun kualitas guru juga harus baik, sehingga anak merasa nyaman di sekolah dan tidak stress.

“Gurunya juga harus berkualitas. Jangan model komandan, anak-anak harus sesuai apa yang dia ingini, dan anak tidak bisa mengembangkan ide-ide nya. Sekolah juga jangan sampai atapnya bolong-bolong atau rusak sehingga mengganggu proses kegiatan belajar mengajar, termasuk juga kantin, toilet maupun tempat ibadah juga harus tersedia dengan baik,” kata Retno.(faz/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs