Kelompok penyebar informasi hoax melalui media sosial bernama Saracen, diduga meraup banyak keuntungan dari kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Melalui ribuan akun media sosial yang dikelola, Saracen bisa menyebarkan berbagai konten berisi hasutan atau fitnah yang menyerang kelompok atau figur politik tertentu.
Menurut Kombes Martinus Sitompul Kabagpenum Divisi Humas Polri, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri masih mengusut dugaan tindak pidana dan pihak yang terkait Saracen.
Dia menegaskan, motif politik, sosial atau ekonomi bukan alasan yang membuat Polri membongkar sindikat penyebar hoax pimpinan Jasriadi. Tapi, karena ada indikasi pelanggaran hukum.
“Kami pada posisi untuk mengungkap fakta apakah di situ ada perbuatan melawan hukum atau tidak, itulah yang menjadi fokus pengungkapan penyidik. Apakah ada motif politik, ekonomi atau sosial dalam sebuah proses penegakan hukum oleh Polri, itu adalah motif-motif yang dibawa penyidik dalam upaya membongkar suatu perkara, tapi bukan yang menjadi dasar pengusutan,” ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (5/9/2017).
Seperti diketahui, hari Rabu (23/8/2017), Mabes Polri merilis pengungkapan sindikat penyebar informasi hoax yang mengandung kebencian terhadap kelompok, suku agama atau ras tertentu.
Polisi sudah menangkap empat orang terduga pelaku, yaitu Jasriadi ketua sindikat, Muhammad Faizal Tanong koordinator bidang media dan informasi, dan Sri Rahayu Ningsih koordinator grup wilayah.
Menyusul penangkapan Muhammad Abdullah Harsono yang diduga sebagai pendiri Kelompok Saracen, Rabu (30/8/2017), di daerah Pekanbaru, Riau.
Berdasarkan pemeriksaan sementara, kelompok Saracen membuat proposal penawaran kepada calon pengguna jasanya, dan meminta bayaran sekitar Rp70-100 juta sebelum beroperasi.
Sesudah ada kesepakatan harga, kelompok Saracen mulai menyebarkan konten kebencian sesuai pesanan, lewat 800 ribuan akun media sosial yang mereka kelola.
Atas perbuatannya, para pelaku bisa dijerat Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana enam tahun penjara, dan atau Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman empat tahun penjara. (rid/iss/ipg)