Sabtu, 23 November 2024

Tiga Faktor yang Membuat Saracen Eksis Menyebar Hoax

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi.

Kelompok penyebar informasi hoax melalui media sosial yang menamakan diri Saracen, diketahui sudah beroperasi sejak November 2015.

Selama sekitar dua tahun menjalankan aksinya, diduga sudah ada ribuan bahkan jutaan konten kebencian yang disebarluaskan di dunia maya.

Menurut Kombes Sulistyo Pudjo Hartono Analis Kebijakan Madya Bidang Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, kelompok Saracen bisa beroperasi sekian lama karena ada pihak-pihak yang `membutuhkan` jasanya.

“Setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat kelompok Saracen bisa eksis begitu lama. Pertama, perkembangan teknologi informatika yang begitu pesat,” ujarnya dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).

Yang kedua, lanjut Kombes Pudjo, adalah faktor psikologi di mana para pelaku bisa membaca psikologi masyarakat yang tengah ramai dibahas di media sosial.

“Faktor ketiga adalah kemampuan manajemen para pelaku untuk mempengaruhi dan memberikan masukan, sehingga para pendukung suatu kelompok/golongan yang dipengaruhi menjadi militan,” paparnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara Bareskrim Polri, tujuan utama kelompok Saracen adalah mendapatkan keuntungan ekonomi, dari setiap operasi yang dilakukan.

Seperti diketahui, hari Rabu (23/8/2017), Mabes Polri merilis pengungkapan sindikat penyebar informasi hoax yang mengandung kebencian terhadap kelompok, suku agama atau ras tertentu.

Polisi menangkap tiga orang tersangka pelaku, masing-masing adalah Jasriadi ketua sindikat, Muhammad Faizal Tanong koordinator bidang media dan informasi, dan Sri Rahayu Ningsih koordinator grup wilayah.

Berdasarkan pemeriksaan sementara, kelompok Saracen membuat proposal penawaran kepada calon pengguna jasanya, dan meminta bayaran sekitar Rp70-100 juta sebelum beroperasi.

Sesudah ada kesepakatan harga, kelompok Saracen mulai menyebarkan konten kebencian sesuai pesanan, lewat 800 ribuan akun media sosial yang mereka kelola.

Atas perbuatannya, para pelaku bisa dijerat Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana enam tahun penjara, dan atau Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman empat tahun penjara. (rid/iss/fik)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
34o
Kurs