KH Said Aqil Siroj Ketum PBNU menegaskan penolakan NU terhadap full day school bukan karena menteri pendidikan yang menggagas kebijakan itu orang Muhammadiyah.
Sekolah lima hari itu dianggap merugikan masyarakat karena kalau pagi anak-anak itu sekolah SD sedangkan siangnya belajar di madrasah diniyah.
Di madrasah diniah ini, anak-anak diajari prinsip-prinsip teologi Islam dan ahlak. Apa jadinya kalau madrasah diniyah itu dihilangkan.
“Disini persoalannya, jadi tidak ada urusan antara NU dan Muhammadiyah.
Sekalipun menterinya orang NU, full day school itu tetap akan ditolak,” kata Said Aqil setelah meresmikan Grand Lounching Hari Santri 2017 di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2017) malam.
Sehubungan dengan kontroversi full day school, Joko Widodo Presiden menjelaskan bahwa tidak ada keharusan bagi sekolah untuk menerapkan program pendidikan karakter lima hari sekolah full day school dalam seminggu.
Faktor kesiapan tiap sekolah yang berbeda-beda menjadi penentu apakah sekolah tersebut siap untuk menerapkan program full day school atau tidak.
“Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 mengenai kebijakan sekolah lima hari atau full day school telah diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres),” kata Presiden.
Sehingga full day school nantinya dalam kendali presiden langsung bukan Mendikbud.
Angkatan Muda Muhammadiya (AMM) membantah kalau full day school yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah
akan menggerus keberadaan Madrasah Diniyah.
Muhammadiyah dikatakan tidak punya kepentingan apapun atas kebijakan tersebut.
Permendikbud itu semata-mata dalam kapasitas Mendikbud sebagai pembantu Presiden untuk menjabarkan Nawacita yang menjadi program Pemerintah, terutama dalam hal pembentukan karakter bangsa.
AMM menyayangkan kalau ada pihak yang sengaja ingin membenturkan NU dengan Muhammadiyah dalam menyikapi Permendikbud tentang hari sekolah. (jos/dwi)