Agung Rahmat, petani di Bangsal, Mojokerto mengatakan, minat pemuda di desa untuk menjadi petani semakin menurun karena pekerjaan tersebut dianggap tidak berkembang.
Pernyataan tersebut terkait adanya fenomena urbanisasi pasca lebaran. Di mana pemuda desa lebih memilih bekerja di kota daripada menjadi petani di desa.
“Desa (profesi petani, red) bisa dibuat menarik, tapi butuh komitmen stakeholder di desa tersebut. Aparat desa di Bangsal, Mojokerto, lebih memilih mendatangkan investor dijadikan pabrik karena dinilai lebih mudah,” kata Agung kepada suarasurabaya.net, Selasa (4/7/2017).
Satu di antara komitmen yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur pertanian.
Penyebab lainnya yaitu kebanyakan petani berharap anaknya mendapat pekerjaan yang lebih baik di kota karena merasa sektor pertanian makin sulit.
“Dengan gaya hidup sekarang dan iming-iming UMR di kota, petani hanya mendapatkan Rp4 juta untuk masa kerja 3 bulan dari mengurus sepetak sawah seluas 5.000 meter persegi. Itu pun kalau tidak kena hama. Padahal biaya hidup di desa dan kota hanya beda tipis,” kata Agung.
Pria lulusan Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang ini memilih bertahan menjadi petani karena berpikir jika semua pemuda mencari pekerjaan di kota, maka peluang di desa akan semakin besar. “Masa tidak bisa kita pertahankan dengan segala keterbatasan, misalnya dengan membuat saluran irigasi sendiri,” ujarnya.(iss/ipg)