Kementerian Perhubungan Republik Indonesia tengah menjajaki kerjasama dengan akademisi Universitas Airlangga. Sebagai agenda pertama, kedua belah pihak sedang dan akan melakukan diskusi terkait revitalisasi Mahkamah Pelayaran yang berada di bawah Kemenhub.
“Yang jelas kerjasama ini akan mengarah ke revitalisasi Mahkamah Pelayaran. Revitalisasi itu nanti akan berwujud kelembagaan, tugas dan fungsi, maupun sumber daya manusia,” kata Peni Pudji Turyanti Ketua Mahkamah Pelayaran Kemenhub ketika berkunjung ke Kantor Manajemen Unair, Senin (19/6/2017).
Dalam kunjungan tersebut, Peni yang didampingi empat pejabat Mahkamah Pelayaran, diterima oleh Prof. Ir. Mochammad Amin Alamsjah Wakil Rektor III Unair, Ph.D, dan dua akademisi Fakultas Hukum Dr. Radian Salman dan Nilam Andalia Kurniasari, LL.M.
Peni mengatakan, revitalisasi mahkamah pelayaran tersebut diperlukan untuk mensukseskan Nawacita Joko Widodo Presiden RI di bidang kemaritiman. Ia mengakui, selama ini mahkamah pelayaran memiliki kapasitas yang terbatas dalam menangani persoalan kecelakaan kapal dalam negeri.
“Jadi, penanganan-penanganan permasalahan itu banyak yang lari ke luar negeri karena keterbatasan mahkamah pelayaran. Harapannya, kita bisa menjadi maritime court seperti di Singapura dan Inggris dalam hal penanganan masalah sehingga poros maritim lebih cepat terwujud,” ujar Peni.
Menurut Ketua Mahkamah Pelayaran Kemenhub RI, keberadaan Centre for Maritime and Ocean Law Studies (MAROCLAW) FH Unair menjadi alasan bagi pihaknya memilih Unair sebagai mitra kerjasama. Ia berharap, kerjasama Kemenhub dengan Unair yang akan berlangsung selama tiga tahun bisa memberikan telaah akademis yang bermanfaat bagi kemaritiman di Indonesia.
“Ini bukan hanya Mahkamah Pelayaran saja tetapi Kementerian Perhubungan. Nanti kerjasama ini juga akan dimanfaatkan oleh direktorat yang menangani angkutan darat, laut, dan kereta api. Kalau jangka waktunya masih kurang, kita akan perpanjang lagi,” kata Peni.
Ia juga berharap naskah akademis yang disusun dari berbagai forum grup diskusi bisa diselesaikan dalam rentang waktu tiga bulan ke depan.
Pengajar sekaligus peneliti Maroclaw FH Unair, Nilam, mengatakan penyusunan naskah akademis akan dimulai dengan diskusi-diskusi mengenai identifikasi problem mahkamah pelayaran. “Ada beberapa ketidaksinkronan antara beberapa peraturan perundang-undangan. Ini yang nantinya akan kami identifikasi,” kata Nilam.
Nilam mensinyalir, ada sejumlah problem yang disebabkan ketidaksesuaian peraturan. Pertama, keberadaan lembaga pemutus perkara di bawah eksekutif. Kedua, kewenangan mahkamah pelayaran yang terbatas pada kecelakaan kapal.
“Padahal masalah kemaritiman tidak terbatas pada kecelakaan kapal tetapi juga kontrak pembangunan kapal, pengiriman barang melalui laut, kebocoran minyak dan pencemaran laut oleh kapal, termasuk remunerasi anak buah kapal. Luas sekali masalahnya,” ungkap peraih beasiswa AUSAID.
Selain focus group discussion, para peneliti Maroclaw nantinya juga akan melakukan komparasi organisasi maritime court di negara-negara lain dalam bentuk studi lapangan dan telaah kewenangan.(iss/ipg)