Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyayangkan tuntutan ringan yang diajukan jaksa untuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI mensinyalir, ada permainan hukum dalam proses penuntutan di Kejaksaan Agung.
Tanpa bermaksud mengintervensi proses hukum, MUI mengingatkan ada risiko besar yang harus ditanggung Bangsa Indonesia, kalau sampai Ahok divonis ringan.
Kata Din Syamsuddin, vonis ringan atau bahkan vonis bebas, berpotensi memunculkan kasus ujaran kebencian lain, yang memicu perpecahan bangsa.
“Proses hukum (Ahok) sudah berjalan lama dan ternyata dagelan karena tuntutannya sempat ditunda dengan alasan yang mengada-ada, dan tuntutannya cenderung untuk membebaskan. Kami melihat ada kecenderungan memainkan hukum, dan itu sangat berbahaya,” ujarnya di Kantor Pusat MUI, Jakarta Pusat, Rabu (26/4/2017).
Maka dari itu, MUI meminta Kejaksaan Agung berhenti mempermainkan hukum, demi menjaga kerukunan hidup masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Kalau sampai Ahok divonis bebas, kasus ujaran kebencian saling menghina antara berbagai suku dan agama di Indonesia bakal sering terjadi. Kalau sudah kejadian, Kepolisian dan Kejaksaan tidak akan bisa mengatasinya,” katanya.
Seperti diketahui, Ahok harus berurusan dengan hukum karena mengaitkan Surat Al Maidah ayat 51 dengan Pilkada, waktu pidato di Kepulauan Seribu, 27 September 2016.
Pada persidangan hari Kamis (20/4/2017), jaksa menyatakan Ahok melanggar Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ahok dinilai bersalah melakukan tindak pidana di muka umum, dengan menyatakan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia.
Atas pertimbangan itu, jaksa menuntut hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan pidana penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun buat Ahok.
Rencananya, majelis hakim akan memutuskan vonis buat Ahok pada sidang lanjutan, tanggal 9 Mei 2017. (rid/rst)