Sabtu, 23 November 2024

DPD Tidak Punya Etika Politik Kalau Abaikan Keputusan MA

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan

Mahkamah Agung baru saja mengabulkan uji materi yang diajukan enam anggota DPD yang meminta MA membatalkan Peraturan DPD No 1/2017 dan Peraturan DPD No 1/2016. Kedua peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

MA dalam putusannya nomor 20 P/Hum/2017 dan 38 P/Hum/2016 menyebutkan, subyek yang harus mencabut dua peraturan DPD tentang Tata Tertib itu adalah Pimpinan DPRD, bukan DPD.

Dalam Amar putusannya, obyek yang diperintahkan untuk dicabut adalah peraturan DPD UU No 1/2017 dan UU No 1/2016 tentang Tata Tertib. Padahal DPD RI tidak mempunyai wewenang mencabut Undang-Undang.

Sementara pada Tatib yang dibuat DPD RI adalah jabatan pimpinan DPD akan selesai setelah 2 tahun 6 bulan. Sesudah itu akan diadakan pemilihan pimpinan DPD yang baru.

Dengan keluarnya keputusan MA, maka tatib yang mengatur itu batal dan berlaku seperti DPR RI yaitu pergantian jabatan pimpinan DPD adalah 5 tahun. Tetapi anggota-anggota DPD RI yang mendukung pergantian pimpinan DPD selama 2 tahun 6 bulan akan nekat menggelar rapat paripurna Senin (3/4/2017).

Alasannya, putusan MA salah ketik ( harusnya DPR, ditulis DPRD), sehingga dianggap tidak mengikat.

Sementara MA sendiri menjelaskan kalau salah ketik itu bisa diperbaiki dan tidak mengubah substansi putusan, sehingga tetap mengikat dan harus ditaati.

Menyikapi hal tersebut, Bivitri Susanti ahli hukum tata negara menilai, kalau sampai DPD nekat menggelar rapat paripurna, maka etika politiknya dipertanyakan, dan masyarakat juga akan menilai perilaku anggota DPD itu.

“Kalau nanti hari Senin masih diabaikan dengan alasan-alasan prosedural, mari kita lihat sendiri-sendiri dimana etika politik anggota anggota DPD itu nantinya, dan diperlihatkan kepada kita semua sebagai konstituen mereka ,” ujar Bivitri dalam diskusi membahas polemik di DPD RI di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (1/4/2017).

Sekadar diketahui, sekitar 70 anggota DPD RI dari total 132 dikabarkan telah masuk menjadi anggota partai politik. Dan informasi yang dihimpun, ketua umum parpol tersebut ingin duduk menjadi ketua DPD RI.

Bivitri menegaskan kalau lembaga DPD bukan sebuah lembaga yang mewakili partai politik.

“Saya kira kita juga kaitkan bahwa kondisi salah satu pimpinan yang akan memperebutkan adalah menjadi ketua umum sebuah partai politik. Pada Dewan Perwakilan Daerah esensinya adalah sebuah lembaga yang tidak mewakili partai politik. Saya kira itu yang harus jadi perhatian,” kata dia.

Bagaimanapun, kata Bivitri, keputusan Mahkamah Agung kalau mengenai permohonan judicial review sifatnya final dan mengikat.

“Jadi serupa atau sama dengan Mahkamah Konstitusi walaupun salah ketik. Kalaupun nanti ada perbaikan yang perlu diperbaiki ya silahkan dimohonkan tetapi secara substansi tidak bisa direvisi,” ujar Bivitri.

Kata dia, kalau kesalahan ketik kemudian akan dilaporkan ke Komisi Yudisial, itu lebih baik dan bisa jadi masukan agar MA lebih profesional.

“Kalau nanti kalau mau diajukan ke Komisi Yudisial, silahkan. Dengan begitu kita mendorong agar Mahkamah Agung lebih profesional dan lebih baik ya,” kata dia.

Tetapi, menurut Bivitri, secara substansi tidak mempengaruhi putusan, karena kesalahan ketik itu tidak substantif.

“Jadi putusan Mahkamah Agung ini tidak bisa di chalenge, tidak bisa ada Kasasi dan sebagainya. Kalau bertanya boleh, meminta Komisi Yudisial untuk mengecek ada apa dibalik itu, saya kira itu bagus dan publik bisa mengetahui secara lebih jelas. Tapi bahwa itu adalah keputusan hukum yang mengikat, itu jelas,” ujar Bivitri.

Kalau beberapa anggota DPD beranggapan sidang paripurna Senin mendatang dikatakan sebagai kesepakatan politi, maka menurut Bivitri, Indonesia adalah negara hukum. Kalau ada putusan MA yang sudah ada dan berkekuatan hukum tetap, maka tidak seharusnya lembaga politik menganulirnya, karena tidak bisa.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs