Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dewan Pendidikan Jatim mendorong Kementerian Pendidikan untuk mengumpulkan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi seluruh Indonesia terkait kegaduhan sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019.
“Sebaiknya Kemendikbud segera mengundang seluruh kepala dinas provinsi untuk memecahkan masalah (PPDB, red) SMA/SMK, bukannya SMP dan SD tidak bermasalah, tapi SMP kan masih mending karena wilayah batasannya Kota/Kabupaten,” kata Ahmad Muzakki Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (18/6/2019).
Menurutnya, ada beberapa hal yang harus menjadi catatan bagi Kemendikbud dalam penerapan sistem PPDB 2019 ini. Salah satunya, ia meminta agar Kemendikbud tidak saklek untuk menerapkan sistem zonasi mengingat setiap provinsi memiliki karakter yang berbeda-beda.
Karena hingga saat ini, lanjutnya, setiap provinsi menerjemahkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB dengan sistem zonasi berbeda-beda.
“Antara Kemendikbud RI dengan Dinas Pendidikan hampir di semua provinsi ternyata tidak sama menerjemahkan Permen (Peraturan Pemerintah, red) tersebut. Contoh Provinsi DKI Jakarta menerjemahkan zonasi dengan kuota 60 persen, tapi Jatim tidak,” katanya.
Seperti yang disampaikan Hudiono Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemprov Jatim, PPDB SMA/SMK di Jatim menerapkan sistem zonasi 50 persen, 20 persen akademik dan 30 persen untuk siswa tidak mampu.
Menurutnya, hal ini harus menjadi catatan agar Kemendikbud tidak “saklek” untuk memaksa sistem ini harus disamakan untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Ia juga menyarankan Kemendikbud untuk membenahi dahulu road map penetapan kebijakan secara bertahap. Sehingga kebijakan baru tidak langsung ditetapkan sekaligus dalam kurun waktu satu tahun setelah diumumkan.
“Menurut saya pemerintah tidak melakukan road map yang terukur, kalau kemudian kebijakan diambil untuk tahun depan misalnya, lha orang-orang ini menyekolahkan anaknya 3 tahun sebelumnya,” ujarnya.
Sehingga jika kebijakan disosialisasikan jauh sebelumnya, maka wali murid dan siswa dapat menyiapkan diri jika sudah memasuki kebijakan baru tersebut.
“Menurut saya tahapannya harus jelas, kebijakan akan diambil full tahun berapa, jadi masyarakat jauh-jauh hari dapat berpikir apa yang harus dilakukan dan apa yang akan mereka tanggung,” imbuh Muzakki.
Ketiga, adalah siswa yang berada di wilayah irisan maupun perbatasan. Dengan sistem zonasi, maka siswa tidak dapat mendaftar di wilayah terdekat dengan tempat tinggalnya karena perbedaan sistem administrasi wilayah.
Bahkan Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur ikut menyarankan dibentuknya MoU antar wilayah agar tidak ada kegelisahan bagi siswa yang berada di wilayah irisan.
“Misalnya Menanggal (Kecamatan Gayungan, Surabaya) dan Waru (Sidoarjo), misal rumahnya dekat sana tapi tidak bisa daftar karena mengikuti wewenang administrasi. Jangan bayangkan Indonesia ini semuanya seperti Jakarta dengan distribusi pembangunan yang hampir merata. Surabaya aja menyisakan masalah apalagi kota-kota lain,” kata Muzakki.(tin/rst)