Ratusan wali murid Surabaya berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi menolak sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019, Rabu (19/6/2019).
Mereka membawa spanduk berisi beragam kalimat penolakan zonasi. Seperti, “Hapus sistem zonasi. Zonasi bukan pemerataan kualitas tapi pembodohan bangsa.”
Atau kalimat lain seperti, “Tiga Tahun Sekolah Kalah Dengan Google Maps.” Juga spanduk bertuliskan, “Ganti Mendikbud Secepatnya!”
Sambil membawa spanduk, para orangtua ini meneriakkan “Tolak Zonasi” secara berkesinambungan. Mereka juga menyanyikan beberapa lagu nasional seperti Indonesia Raya, Indonesia Pusaka, dan lain sebagainya.
Para wali murid yang berunjuk rasa ini tidak hanya wali murid SMP yang hendak masuk SMA yang tergabung dalam Komunitas Peduli Pendidikan Anak (Kompak) Surabaya.
Sejumlah wali murid SD yang akan masuk SMP, yang sebelumnya sudah berunjuk rasa lebih dulu dan sempat mencegat sebuah mobil plat merah di depan Taman Apsari bergabung dalam unjuk rasa kali ini.
Sawitri Nilaswari Humas Kompak Surabaya mengatakan, karena sistem zonasi PPDB ini sejumlah orang tua wali murid yang dia kenal tertekan secara mental.
“Kalau detail datanya saya tidak tahu, tapi yang curhat ke saya ada satu wali murid, kemarin dini hari harus masuk UGD karena darah tinggi. Tadi pagi ada orang tua yang mau ikut ke sini tapi harus masuk RS karena hipertensi,” ujar psikolog di salah satu perusahaan di Surabaya ini.
Perempuan yang akrab disapa Nila itu menjelaskan, tuntutan mereka saat ini bukan kepada Gubernur maupun Dinas Pendidikan Jawa Timur.
“Kami tahu, dengan aturan yang ada Gubernur dan Dindik Jatim tidak bisa berkutik. Bahkan ada sanksi yang mengancam mereka, dengan tidak masuknya sekolah ke dalam Dapodik dan tidak bisa menerima BOS. Aksi unjuk rasa ini setidaknya untuk mengetuk hati Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Muhadjir Effendy,” ujarnya.
Menurutnya, sistem zonasi ini juga berdampak pada psikologis siswa. Terjadi demotivasi siswa terutama siswa SMA dalam menghadapi Ujian Nasional.
“Karena sistem zonasi ini diumumkan beberapa waktu sebelum pelaksanaan UN SMA. Mereka akan berpikir, buat apa mereka belajar keras, kalau akhirnya yang diukur adalah jarak,” ujarnya.
Nila menganalogikan sistem zonasi ini seperti pertandingan bola.
“Kalau yang bilang anak saya, ‘Ma, ma, ini seperti pertandingan bola. Sudah latihan keras belajar teknik dan lain-lainya, saat pertandingan mau berakhir diumumkan, yang menang bukan yang banyak gol, tapi yang kostumnya paling bagus, GJ (gak jelas) banget, kan?” katanya.
Sejumlah perwakilan dari massa orang tua wali murid diterima di Gedung Negara Grahadi. Mereka melakukan audiensi dengan perwakilan Dinas Pendidikan Jatim.
Sementara itu, massa di luar Grahadi masih rela berpanas-panasan menyuarakan penolakan mereka terhadap zonasi. Salah satu dari mereka, seorang ibu, jatuh pingsan hingga kepalanya terluka.(den/dwi/rst)