Afnan Hadikusumo Ketua Panitia perancang Undang-Undang PPUU DPD RI menyatakan jika revisi terbatas UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) khususnya terkait penguatan kewenangan DPD RI itu sangat tergantung kepada Presiden RI dan DPR RI, meski rencana revisi UU MD3 terbatas tersebut sudah ditetapkan dengan tidak adanya agenda penguatan DPD RI.
Surat Presiden RI untuk revisi itu sudah ada di meja pimpinan DPR RI dan hanya terkait 5 pasal di luar kewenangan DPD RI.
“Jadi, meski revisi terbatas UU MD3 itu tidak ada penguatan kewenangan DPD RI, namun hal itu akan sangat tergantung kepada Joko Widodo Presiden dan DPR RI. Kalau Presiden RI dan DPR RI menyatakan mendukung revisi penguatan kewenangan DPD RI, maka itu akan dilakukan,” ujar Afnan dalam dialog kenegaraan dengan tema “Mengapa Revisi UU MD3 Terbatas?,” bersama Hendrawan Supratikno anggota Baleg FPDIP DPR dan Refly Harun pakar hukum tata negara di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Bahkan kata senator asal Yogyakarta ini, DPD RI dengan demikian kehilangan semuanya. Yaitu, tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan APBN maupun UU. Sehingga yang tersisa adalah tinggal harga diri dan etika sebagai anggota DPD RI.
“DPD RI sudah kehilangan semuanya, kecuali etika dan harga diri sebagai senantor,” kata dia.
Menyinggung masa jabatan pimpinan DPD RI selama 2,5 tahun sebagaimana Tatib yang diputuskan paripurna DPD RI, seharusnya kata Afnan, itu tidak berlaku sekarang, melainkan untuk periode mendatang. Sebab, kalau langsung berlaku sekarang berarti sangat politis, dan melanggar sumpah jabatan saat dilantik oleh Mahkamah Agung (MA) selama lima tahun.
Karena itu, Afnan sendiri keberatan dengan Tatib jabatan pimpinan DPD RI tersebut, sehingga dirinya membuat catatan keberatan, atas disahkannya Tatib tersebut.
Sementara itu, Hendrawan sepakat jika DPD RI itu lebih fungsional dan instrumental, tidak seperti sekarang ini, yang tidak jelas.
“DPD RI hanya sebagai aksesoris seolah-olah dibagi untuk masalah daerah, tapi nyatanya yang ditangani DPR RI lebih banyak. Jadi, peran DPD ini harus lebih diwujudnyatakan,” kata politisi PDIP itu.
Menurut Hendrawan, UU MD3 sekarang ini sebagai hasil “kecelakaan dan persekongkolan” DPR RI akibat pertarungan politik yang tajam pasca Pilpres 2014. Dimana ada KMP dan KIH, yang memutuskan pencalonan pimpinan MPR dan DPR RI itu dengan sistem paket. Bukan proporsional.
“Makanya meski PDIP menang pemilu dan pilpres, gagal menjadi pimpinan MPR dan DPR RI, karena sistem persekongkolan itu,” ujar Hendrawan yang juga anggota Komisi XI DPR RI.
Sementara itu revisi UU MD3 terbatas tersebut hanya terkait dengan 5 pasal, yaitu tiga pasal terkait dengan penambahan pimpinan MPR, DPR, dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), fungsi Baleg DPR RI, dan produk UU.
“Surat Presiden untuk revisi UU MD3 terbatas itu sudah ada di meja pimpinan DPR RI. Daftar inventarisasi masalah (DIM) segera dibagi ke fraksi-fraksi dan selanjutnya dibahas di Baleg. Sehingga lebih cepat lebih baik,” kata dia.
Sementara Refly menjelaskan, penambahan pemilihan pimpinan MPR dan DPR itu tidak salah, khususnya ketika terjadi kekosongan, tapi apa manfaatnya bagi rakyat?
“Kan tidak ada. Jadi, kalau tidak ada penguatan DPD RI, seharusnya DPR RI menjalankan pasal 22 D putusan MK yang memerintahkan proses legislasi itu tripatrit (Presiden, DPR dan DPD RI). Itu yang harus dijalankan. Kalau tidak, maka produk UU yang dihasilkan cacat formal,” kata dia.
Karena itu revisi UU MD3 itu kata Refly, tidak bisa tambal sulam seperti sekarang ini, maka harus dijauhkan dari kepentingan politik conflict of interest, dan membahas UU lebih produktif lagi.
“Jepang yang menganut sistem parlementer dalam setahun bisa menghasilkan seratusan UU. Sedangkan Indonesia yang presidensial, ya jangan jauh-jauh banget produktifitasnya,” ujar dia.
Sebelumnya MK pada Selasa (28/2/2017) sudah menolak permohonan uji materi Tatib masa jabatan pimpinan DPD RI, yang diajukan oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Periode 2014-2019 dan tiga anggota DPD masing-masing Djasarmen Purba, Anang Prihantoro, serta Marhany Victor Poly Pua.
Mahkamah menilai permasalahan yang dimohonkan oleh pemohon bukan merupakan kewenangan MK. (faz/rst)