Keragaman budaya, pola pikir, kebiasaan, maupun ide dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari setiap individu. Keragaman maupun perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya justru merupakan identitas dari masing-masing individu.
Masdibyo dan Gigih Wiyono memandang perbedaan itu sebagai energi yang dapat disatukan dengan harmonis dan apik seperti tersirat pada 30 karya lukis yang diusung pada pameran Rancak, digelar mulai Jumat (3/3/2017) sampai dengan 1 April 2017 di Galeri House of Sampoerna Surabaya.
Rancak diterjemahkan sebagai proses harmonisasi keragaman yang dinamis sebagai upaya menjaga spirit kreatifitas dan apresiasi dalam berkarya. Karakteristik dalam penciptaan karya yang berbeda dari keduanya mampu menghadirkan karya yang variatif, namun tetap senada. Elok dalam sentuhan maupun goresan kuas yang sarat akan pesan bagi penikmatnya.
Masdibyo sebagai makhluk sosial yang acap kali terhenyak, terhanyut, ketika terjadi peristiwa besar, menuangkan hiruk pikuk perasaannya kedalam sebuah karya seni yang kerap memilukan, mengharukan, namun tak jarang juga membahagiakan, seperti pada karya yang berjudul Berdoa Ditengah Teror Jakarta, dan Rejeki Besar buat Bersama.
Lukisan dengan gaya ekspresionis Masdibyo seakan memberi kebebasan bagi penikmatnya dalam mengintrepretasikan setiap karyanya.
Sementara itu, Gigih Wiyono pelukis dan pematung asal Sukohardjo, Jawa Tengah yang karya-karyanya lebih terinspirasi oleh mitos-mitos seperti Dewi Sri dan kesuburan yang menjadi tumpuan kaum agraris dari kota kelahirannya, ataupun mitos-mitos kekuasaan yang umumnya terlambang dari sebilah keris, batik, aksara Jawa, dan motif tradisional lainnya, yang dihadirkan secara kontemporer.
Pada karya seperti Berkah Berlimpah I, Energi Berlimpah, Daun Sakti dan Sang Linuwih, Gigih ingin menuturkan pesan agar jangan pernah ragu dengan sesuatu yang telah di yakini, mampu menyatukan jiwa antara yin dan yang, dan memberikan dampak positif bagi kehidupan yang lebih luas.
Meskipun berbeda dalam berkarya, Masdibyo dan Gigih Wiyono memiliki kesamaan visi dan misi dalam berkesenian.
Kesamaan inilah yang melatar belakangi mereka membentuk kolaborasi Dua Kutub yang lahir pada tahun 2012 dengan debut pameran pertamanya di Bandung.
Masdibyo sebagai perupa dari kutub utara (Pantura, Tuban, dan pesisir Jawa Timur) yang cukup lama menggarap persoalan rakyat tentang kearifan lokal, cinta kasih, dan kelembutan.
Sedangkan Gigih Wiyono yang tumbuh berkembang di wilayah pedesaan dan pertanian sebagai penjaga kearifan lokal kutub selatan (Sukoharjo, Solo).
Dalam pameran kali ke-2 ini, mereka berharap dapat menambah wawasan serta menumbuhkan apresiasi generasi muda dan masyarakat luas terhadap karya seni. Pameran ini juga diharapkan dapat menularkan semangat kebersamaan dalam keragaman, saling mengisi dengan harmonis demi mencapai tujuan.(tok/rst)