Minggu, 24 November 2024

Pemerintah Perlu Antisipasi Menang dan Kalah Arbitrase Freeport

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ferdinand Hutahean pengamat EWI (Energi Watch Indonesia) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (23/2/2017). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Harry Purnomo anggota Komisi VII DPR RI mengatakan seharusnya pemerintah mengajak DPR RI untuk mencari solusi dalam kasus freeport. Sebab, masalah freeport ini menyangkut kepentingan nasional yang sangat besar dan berhadapan dengan Amerika Serikat, baik dari aspek regulasi, ekonomi, Sumber Daya Alam (SDA), hukum, nasionalisasi dan sebagainya.

“Kita mendukung sikap pemerintah dengan semangat menegakkan undang-undang. Jangan sampai mengingkari UU. Kita juga jangan ribut terus soal salah atau benar, melainkan harus mencari solusi. Bahwa Freeport diwajibkan membangun smelter dan divestasi saham 51 persen. Nah, smelter itu biayanya bisa dikonvensi dari saham dan ini belum dikomunikasikan dengan pemerintah,” ujar politisi Gerindra itu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (23/2/2017).

Harry mengatakan hal itu dalam sebuah ajang dialektika demokrasi bertajuk “Freeport : Kebijakan pemerintah dan ancaman koorporasi” bersama Ferdinand Hutahean pengamat EWI (Energi Watch Indonesia) di Gedung DPR.

Menurut Harry, penolakan Freeport membangun smelter tersebut bisa melibatkan industri pertambangan yang lain. Seperti Newmont, Natuna dan sebagainya. Smelter itu nantinya digunakan bersama untuk mengelola hasil tambang.

“Jadi, DPR perlu diajak bicara dan pemerintah tak perlu khawatir karena mayoritas di DPR mendukung pemerintah,” ujar dia.

Karena itu Harry minta pemerintah tidak terlalu percaya diri dengan siap menghadapi pengadilan arbitrase, tapi kalau kalah apa antisipasinya, dan kalau menang mau bagaimana?

“Semua harus diantisipasi. Apalagi freeport kabarnya akan tuntut ganti rugi Rp 500 triliun,” kata dia.

Sementara itu Ferdinand menilai sejak awal Freeport sangat berkuasa dalam kontrak karyanya. Seperti diatur dalam pasal 31 dimana Freeport bisa memperpanjang kontrak kapan saja. Pada era SBY perpanjangan kontraknya sampai 2021 dan di era Jokowi, menteri Sudirman Said muncul masalah.

“Jadi, pemerintah ini gagal paham Freeport ditengah investor membutuhkan kepastian hukum. Dan, dengan PP Nomor 21/2017 tentang IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) ini, Freeport menolak pembangunan smelter karena dianggap tidak jelas, dan tetap berpegangan kepada kontrak karya. Kontrak karya ini lex specialist sehingga tidak bisa diintervensi dengan aturan lain dan pemerintah tidak konsisten dengan UU Minerba, yang tidak mengharuskan membangun smelter,” kata dia.

Karena itu kata Ferdinand, nasionalisasi Freeport itu jangan sampai melanggar hukum dan mengganggu investasi yang lain.

“Pemerintah memang dilema, maju kena, mundur kena. Solusinya adalah mengeluarkan Perppu terkait larangan ekspor konsentrat di IUPK itu,” kata dia.

Sebelumnya pemerintah melalui Ignatius jonan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa mendapatkan izin ekspor mineral olahan atau konsentratnya kembali jika sudah menyerahkan berkas perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Saya kira kalau Freeport mereka sudah memasukkan permohonan untuk mengubah dari KK jadi IUPK. Ini kita proses mungkin satu dua hari IUPK sementaranya juga terbit ya. Karena kalau proses yang permanen itu memang makan waktu,”kata Jonan di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (30/1/2017).

IUPK sementara ini dikeluarkan pemerintah untuk menstabilkan perekonomian daerah. Sebab, jika Freeport tidak melakukan ekspor konsentrat tembaganya, pemerintah memprediksi hal ini akan mengganggu perekonomian dan menciptakan pengangguran.

“Kan tidak bisa kalau proses IUPK nya itu makan waktu tiga bulan atau enam bulan terus enggak ekspor sama sekali, pasti akan mengganggu perekonomian di daerah itu dan juga menciptakan pengangguran yang besar,” kata dia.(faz/den/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs