Ludruk sebagai sebuah kesenian tradisional yang tumbuh dari Kota Surabaya, dan saat ini terancam terbunuh, lalu hilang dari kotanya sendiri, Meimura seniman yang juga pemerhati Ludruk siapkan penampilan monolog di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Sabtu (22/6/2019).
“Monolog ini sebuah refleksi. Sebagai seniman dan bagian dari masyarakat Kota Surabaya, kedukaan semakin terpuruknya Ludruk, yang membuat monolog ini terjadi. Belum lagi terusirnya sejumlah seniman tradisional di THR Surabaya juga menjadikan monolog ini harus hadir,” terang Meimura.
Meimura mengingatkan, Ludruk sebagai kesenian tradisional yang pernah berjaya di Kota Surabaya, perlahan tapi pasti kian terpinggirkan dan tidak lagi punya penonton. Bahkan untuk tampil saja selalu dihantui kendala. Ironis memang.
“Tapi kami masih punya semangat manakala ada satu gedung di THR Surabaya, yang bisa kami pakai untuk berlatih sekaligus untuk pentas. Bahkan kami undang anak-anak untuk ikut berlatih, ini sebuah semangat baru bagi kami para seniman pegiat seni tradisional khususnya Ludruk,” ujar Meimura.
Tetapi semangat itu kemudian sirna kata Meimura, manakala pemerintah kota Surabaya dengan segala upaya menutup tobong satu-satunya untuk pementasan kesenian Ludruk di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.
“Ludruk ini kan dari Surabaya. Satu diantara ikon kota ini yaa Ludruk. Tapi kalau kemudian tidak lagi ada tempat untuk kesenian Ludruk, lalu perlahan Ludruk terpinggirkan dan kemudian hilang, bagaimana kemudian kita sebagai warga kota menghadapi itu? Tapi kami tetap berusaha untuk menghidupkan Ludruk,” tegas Meimura, Kamis (20/6/2019).
Sabtu (22/6/2019) monolog: Ritus Travesty dijadwalkan ditampilkan di pentas Galeri DKS Surabaya sebagai sebuah refleksi semakin terpuruk dan terancamnya Ludruk yang bakal mati di kotanya sendiri.(tok/ipg)