Jumat, 22 November 2024

Wali Murid: Sekolah Ukuran Meter Bikin Ndas Ngelu

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Ilustrasi. Wali murid membubuhkan tanda tangan tolak PPDB sistem zonasi di Kantor Dispendik Surabaya. Foto: Abidin suarasurabaya.net

Wahyu Handayani (36) mondar-mandir sambil menenteng berkas rapor anaknya, di pelataran Kantor Dinas Pendisikan (Dispendik) Surabaya Kamis (20/6/2019).

Sesekali ia mampir ke tukang bakso yang berjualan di halaman depan kantor di Jl Jagir Wonokromo itu, untuk menghibur perut yang sedari pagi keroncongan.

Yani akrab ia disapa, adalah seorang di antara ratusan wali murid yang tiga hari ini sangat berharap anaknya bisa masuk sekolah SMP Negeri. Sebab, dalam segala varian Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), anaknya tak lolos seleksi, meski nilai ujian nasional (UN) anaknya terbaik di sekolah SD Kalisari.

“Mulai kelas 1 sampai kelas 6 anak saya selalu rangking 1 atau 2 bergantian. Lulus SD danemnya 28,40,” ujar Yani kepada suarasurabaya.net.

Sejak dibukanya PPDB zonasi kawasan 13 Juni lalu, Yani sudah mengawal anaknya hingga mengikuti tes pengetahuan akademik (TPA). Tapi dengan mendapat nilai 197, anaknya tersingkir dari SMP 35. Lima hari kemudian, Yani kembali mebonceng anaknya untuk mendaftarkan di jalur zonasi umum 18 Juni kemarin.

“Terus saya ajak anak saya coba zonasi umum. Karena sistem ini baru, guru di sekolah tidak memberikan sosialisasi kalau ada jalur prestasi sebelumnya, akhirnya begini,” katanya.

“Kita kan gak ngerti jalur tetek mbengek iku mau (jalur banyak varian, red). Bayanganku kalau jalur prestasi iku koyok khusus atlet, sing oleh mendali dan lainnya. Gak ngerti nek danem apik yo digawe (Bayangan saya kalau jalur prestasi itu khusus atlet atau juara bidang oleh raga, tak tau kalau nilai NUN juga bisa dipakai, red),” kata Yani menggebu.

Penyesalan Yani juga tertumpah, karena saat daftar zonasi umum tidak ada kolom spesifik pilihan sekolah yang terjangkau jaraknya dari rumah. Dia dihadapkan pada 5 sekolah yang ada di kolom pendaftaran berbasis komputer. Akhirnya, anak Yani terdepak lagi dari zonasi karena sekolah terdekat sudah full.

“Saya daftar di komputer sekolahan, gurunya ngomong pilih mana dari lima sekolah. Di situ ada SMPN 45, 19, 18, 9 dan SMPN 29. Karena suruh pilih, ya saya pilih yang bagus 18 dan 19 dengan jarak 2100 kilometer dan satunya 3 kilometer. Tidak bisa masuk kabeh, gak ngelu ta ndasku (pusing kepala, red),” kata Yani.

Yani hanya mendapat notifikasi di handphonenya kalau anaknya masih dalam perangkingan, atau daftar tunggu berdasarkan rangking pendaftar.

“Berarti anakku di ujung tanduk. Saya sudah duluan daftar tapi kena jarak. Kalau tinggal 10 kursi, pasti ditarungkan jarak dulu baru danem. Karena di sekitar situ banyak SD, makanya pesertanya banyak yang mau ke SMP,” katanya.

Yani berharap, sistem zonasi ini diperbaiki. Menurutnya, di kolom pendaftaran tidak perlu diberi pilihan sekolah terlalu banyak yang nyata-nyata melampaui ukuran jarak. Cukup diarahkan ke sekolah yang jaraknya sudah pasti masuk.

Saiki mumet ndase. Sekolah swasta larang kabeh gak cukup 5 juta mlebune, terus SPPne gak cukup 100 ewu (Sekarang pusing kepala. Sekolah swasta mahal, SPP tidak cukup Rp100 ribu,” katanya.

Sekarang, saat Diapendik Surabaya mendapat kelongggaran dari Kemendikbud untuk membuka PPDB tambahan bagi peserta didik yang tergeser di zonasi, masih ada harapan kecil bagi anak Yani. Selain itu, Yani telah menyiapkan rencana cadangan, dia juga telah mendaftarkan anaknya di sekolah swasta, untuk antisipasi kalau dalam perebutan tamabahan pagu ini, anaknya gugur lagi.

“Saya ingin anak saya sekolah, orang tua yang bekerja seperti saya hanya berharap anak lebih baik dari saya,” kata Yani sambil kemudian pamit meneruskan makan semangkuk bakso yang mulai dingin. (bid/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs