Jumat, 22 November 2024

Akar Masalah Penyebab Kerusakan Jalan Nasional

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Siklus Fenomena Kerusakan Jalan

Beban angkutan jalan raya yang tak sepadan dengan moda angkutan lain menjadikan jalan raya di seluruh Indonesia selalu tak berdaya dan sering mengalami kerusakan, berlubang dan mengelupas.

Agus Taufik Mulyono, Ketua Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dalam sebuah diskusi di Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) VIII, Rabu (26/1/2017) mengatakan, sebanyak 93,5 persen angkutan barang bertumpu di jalan raya. Sedangkan untuk moda transportasi kereta api hanya 1,1 persen; kemudian angkutan laut 5,2 persen; dan angkutan udara 0,2 persen.

Berikut akar masalah penyebab rusaknya jalan nasional yang dipetakan oleh Agus Taufik :

-Terjadi ketimpangan beban jalan dimana jalan nasional khususnya sudah over kapasitas muatan. Bahkan beban jalan saat ini terpusat di Pantai Utara (Pantura) Jawa yang mencapai 23,5 miliar ton perkilometer jalan pertahun.
Terkait hal ini, Agus berharap ada solusi untuk segera membagi beban jalan.

– Moda transportasi lain selain angkutan jalan belum mampu mendukung terjadinya pembagian beban. Kereta api misalnya, saat ini relnya terlalu kecil sehingga pengalihan beban barang ke kereta api sebenarnya hanya wacana karena tidak mungkin dengan rel yang terlalu kecil. Dari data yang ada, jarak dua rel yang ada di Jawa hanyalah 1,067 meter. Dengan jarak seperti ini, maka kereta api tidak akan bisa untuk membawa petikemas. Kalaupun dipaksakan maka kereta api tidak bisa melaju melebihi 60 km perjam karena rawan terguling.
“Idealnya rel itu 1,35 meter atau 1,45 meter seperti yang saat ini dibangun di Sulawesi. Baru kalau rel dilebarkan bisa digunakan untuk mengangkut petikemas.

– Karakter jalan nasional yang ada juga menyalahi aturan keselamatan karena jalan nasional harusnya memiliki Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) atau lebar jalan minimal 14 meter, serta memiliki ruang manfaat jalan (Rumaja) atau tepi jalan yang tak teraspal dan ruang pengawas jalan (Ruwasja). Sehingga total jalan nasional minimal harus memiliki lebar 25 meter.

– Jalan nasional karena memiliki karakter jalan raya, harusnya juga dipagar seperti layaknya jalan tol sehingga tidak sembarang orang bisa masuk begitu saja ke jalan. Dengan tidak adanya pagar pembatas, maka rumah-rumah warga di pinggir jalan nasional saat ini memiliki akses ekslusif ke jalan raya.
“Padahal nggak bisa itu. Harusnya jalan raya itu dipagar dan 1 Kilometer sekali baru ada persimpangan untuk memberikan ruang kendaraan keluar masuk,” ujar Agus Taufik.

– Jalan nasional juga rentan rusak karena proses perbaikannya tidak dilakukan dengan proses pengaspalan yang optimum. Padahal jika dilakukan dengan pengaspalan optimum maka meskipun terendam banjir, maka aspal itu masih akan bertahan lebih lama dan tidak mudah terkelupas.

-Perbaikan jalan juga selalu terkendala pendanaan karena hingga saat ini tidak ada terobosan yang pas agar perbaikan bisa dilakukan dengan cepat. Perbaikan selalu saja harus menunggu tender yang waktunya kadang juga tidak menentu. Padahal, kerusakan jalan sering kali terjadi di titik-titik yang sama. (fik/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs