Ketidakseimbangan beban jalan menjadikan jalur pantai utara (Pantura) menjadi langganan jalan rusak dibandingkan jalan lintas tengah maupun selatan. Dari data yang ada, beban jalan di Pantura Jawa pertahunnya mencapai 23,5 miliar ton perkilometer.
“Beban jalan di Pantura menguasai 74,7 persen beban jalan di jawa,” kata Agus Taufik Mulyono, Ketua Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia, ketika menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang jalan yang digelar Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (25/1/2017).
Guru besar fakutals teknik Universitas Gajah Mada (UGM) ini membandingkan beban angkutan di jalur lintas tengah pertahunnya hanya 4,4 miliar ton pertahun atau sebesar 14,1 persen dari total bobot barang yang melalui seluruh jalan yang ada di Jawa.
Sedangkan untuk jalur lintas selatan hanya 1,4 miliar ton pertahun atau hanya 4,7 persen. Sementara angkutan kereta api saat ini juga hanya digunakan untuk barang seberat 346 juta ton perkilometer atau 1,1 persen. Sedangkan angkutan laut seberat 1,6 miliar ton pertahun atau 5,2 persen; dan angkutan udara hanya 62 juta ton perkilometer atau 0,2 persen.
Selain penumpukan barang yang mencapai 74 persen di Pantura, angkutan penumpang ternyata juga menumpuk di Pantura. Dari data yang ada, Pantura tiap tahun dilalui oleh 6,2 miliar perjalanan perkilometer pertahun atau mencapai 64,8 persen.
Sedangkan lintas tengah sebanyak 2 miliar perjalanan pertahun, lintas selatan 632 juta perjalanan, kereta api 628 juta perjalanan, angkutan laut 29 juta perjalanan dan udara 67 juta perjalanan.
Selain beban jalan yang terpusat di Pantura, kondisi seluruh jalan nasional di Indonesia terutama di Jawa ternyata sangat tidak ideal dan tidak sesuai dengan perutukannya sebagai jalan raya.
Jalan raya misalnya, harusnya memiliki lebar jalan minimal 14 meter dengan total keseluruhan mulai jalan hingga perumahan warga minimal harus memiliki lebar 25 meter. Faktanya di Jawa mayoritas jalan tidak selebar 14 meter dengan total luas lahan mulai jalan hingga saluran irigasi tak sampai 25 meter.
Problem jalan raya di Jawa juga tidak adanya pagar pembatas antara jalan dan perumahan sehingga lalu lalang kendaraan menjadikan lalu lintas utama terhambat. Akibatnya, kendaraan berbobot berat terpaksa sering berhenti yang mengakibatkan jalan semakin tak kuasa untuk menahan beban kendaraan.
“Jalan masuk dibatasi, minimal tiap 1 km dibuat jalur samping untuk menampung jalan masuk. Tapi di kita ini kan semua rumah di pinggir jalan raya bebas begitu saja memiliki akses untuk langsung ke jalan raya,” ujar Agus Taufik.
Agus juga mengatakan, siklus kerusakan jalan di Indonesia juga tak pernah berubah dan sering terjadi di titik-titik tertentu saja, dengan pola perbaikan yang selalu mengedepankan solusi jangka pendek. Selain itu, pola pembiayaan perbaikan jalan juga tidak memiliki terobosan sehingga tetap saja harus menunggu tender yang memakan waktu lama.
“Kondisi jalan kita ini memang konpleks sehingga kami sudah mengusulkan penanganannya harus menyeluruh lintas sektor dan tidak cukup menjadi tanggung jawab Ditjen Bina Marga, tapi minimal harus dibawah kendali langsung Wakil Presiden,” kata dia.
Sementara itu Ketut Darmawahana Kepala Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional VIII Jawa Timur, mengatakan, dari sisi konstruksi jalan sebenarnya bisa awet jika dibangun dengan standart yang cukup. “Misalnya jalan nasional itu minimal harus dua lapis, tapi rata-rata hanya dibangun satu lapis karena keterbatasan anggaran,” kata Ketut.
Jawa Timur sendiri kini memiliki jalan nasional yang terpanjang dibandingkan provinsi lainnya yang ada di Indonesia. Meski begitu, kata Ketut, anggaran yang dikelola Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional VIII pertahunnya hanya sekitar Rp1,5 triliun.
“Tapi kami memastikan, untuk seluruh jalan yang berlubang dalam waktu dekat ini semua akan diselesaikan. Begitu juga saat angkutan lebaran nanti, saya bisa memastikan seluruh jalan kondisinya sudah tidak akan ada lubang lagi,” ujarnya. (fik/rst)