“Selamat malam. Radio Suara Surabaya? Jalan Mayjend Sungkono banjir setinggi ban mobil,” pendengar Suara Surabaya memulai percakapannya dari ujung telepon. “Selamat malam Bapak. Ini saya bicara dengan siapa Bapak,” jawab Denny Siregar gate kepper pertama Radio Suara Surabaya.
Belum selesai berbicara dan mendata laporan pendengar tentang banjir Mayjend Sungkono, pesawat telepon satunya sudah berdering tiada henti. Demikian kenang Denny Siregar, saat mengikuti Suara Surabaya Reunion yang digelar di Kampoeng Media Suara Surabaya, Sabtu (14/1/2017). Denny Siregar merupakan mantan karyawan Suara Surabaya yang bekerja di era 1990-an.
Gate keeper, di mana Denny bekerja, merupakan pintu pertama yang mensortir berbagai informasi dari para pendengar. Mereka bertugas menyaring informasi yang akan disiarkan layak atau tidak, serta mengkonfirmasi ke pihak-pihak terkait tentang info yang disampaikan pendengar.
Selain menjadi gate keeper, Denny yang saat itu masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya ini kadang juga menjadi penyiar. Selain itu dirinya juga harus mengerjakan tugas di ruang redaksi dengan memproduksi Lintasan Informasi Suara Surabaya dan menjadi marketing Radio Suara Surabaya.
“Saat itu bukan karena ingin menjadi pintar di dunia radio, tetapi karena rasa penasaran saja menyelami profesi yang berbeda-beda. Saya mencari pengalaman. Di gate keeper saya belajar komunikasi. Banyaknya pengalaman membuat saya dapat mengenali dan menganalisa berbagai karakter orang,” ujarnya.
Menurut Denny, pada tahun 1993 Suara Surabaya menjadi radio pertama di Jawa Timur yang memiliki reportase dari pendengar. Awal dari keterlibatan banyak orang memberikan informasi secara langsung.
Terkait kemampuan menulisnya yang kini menjadikan Denny sebagai penulis dengan penggemar hingga ratusan ribu orang, adalah hasil pembelajaran di ruang redaksi Radio Suara Surabaya.
“Kemampuan menulis saya diasah di Radio Suara Surabaya. Mas Didied Wardojo yang mengajari saya menulis. Beliau berkata, tulislah apa yang kamu pikirkan. Makanya sampai sekarang saya tidak merasa menulis. Saya hanya mengungkapkan apa yang saya pikirkan,” kata penulis dua judul buku tersebut.
Pesan dari sang tutor itu jugalah yang membuat Denny rajin menulis status di Facebook. “Menjadi relevan sekarang ketika Facebook menyapa dengan kata, apa yang kamu pikirkan. Tulisan di Facebook itu adalah renungan kenapa kita begini-begitu, hal menarik yang tidak terpikirkan banyak orang. Politik mah saya tidak tertarik,” kata Denny lantas terkekeh.(iss/fik)