Jumat, 18 Oktober 2024

Peringati Hari Sejarah, Sejarawan dan Akademisi Perdebatkan Ikon Lumajang

Laporan oleh Sentral FM Lumajang
Bagikan

Peringatan Hari Sejarah, Senin (14/12/2015), menjadi momentum bagi sejarawan dan akademisi untuk memperdebatkan ikon Kabupaten Lumajang dari sisi nilai historis.

Perdebatan ini dinilai penting karena belakangan ikon Lumajang tengah menjadi sorotan publik dengan proyek pembangunan patung Jaran Kencak (kuda menari, red) sebagai salah-satu kesenian tradisional, menggantikan pisang yang melekat di masyarakat.

“Diskusi ini sebagai salah-satu referensi untuk menggali kembali, apakah Jaran Kencak berkaitan dengan sejarah besar Lumajang,” kata Mansur Hidayat, salah-satu sejarawan yang mejadi narasumber diskusi bertajuk Mengupas Ikon Lumajang Dari Sudut Pandang Sejarah, kepada Sentral FM.

Mansur memaparkan, baru-baru ini masyarakat Lumajang dikejutkan dengan adanya pembangunan besar-besaran patung Jaran Kencak yang dipasang di setiap sudut kota.

“Disusul dengan pernyataan para pejabat Lumajang dimana Jaran Kencak akan dijadikan ikon baru yang nantinya akan dipatenkan. Hal ini tentu mengejutkan, karena dalam menentukan ikon suatu kota, sebaiknya pemerintah perlu mengajak serta masyarakat untuk berembuk dan bermusyawarah, sehingga menghasilkan yang terbaik secara bersama-sama,” katanya.

Mansur yang juga Koordinator LSM Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPMT) ini mempertanyakan ikon Jaran Kencak dari kajian akademis hingga dijadikan ikon Lumajang. Ia pun mengupas, bahwa Jaran Kencak jika dilihat dari sudut pandang kesenian, boleh-boleh saja difestivalkan di Lumajang. Namun saat dijadikan ikon, Jaran Kencak tidak memiliki latar belakang filosofis, antropologis maupun historis sejarah dengan Lumajang.

“Dalam banyak penjelasan dan mungkin ini dijadikan dasar filosofinya, Jaran Kencak diinspirasi seokor kuda yang cerdik, kuat, tangkas dan pemberani bernama Nila Ambara. Dan latar belakang antropologisnya, kesenian ini berkembang tidak hanya di Lumajang, namun juga di wilayah Tapal Kuda seperti Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember dan bahkan Sumenep,” ujarnya.

Jika kemudian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lumajang menyatakan bahwa sejarah Jaran Kencak terkait dan terinspirasi dari kuda Ronggolawe bernama Nila Ambara, maka masih perlu diperdebatkan. Sebab dari sudut pandang sejarah, Ronggolawe merupakan putra dari Arya Wiraraja yang merupakan raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru, berasal dari dan dibesarkan di Desa Tanjung, Madura Barat.

Rongolawe menjadi salah satu panglima pasukan gabungan Sumenep dan Majapahit sewaktu mengusir pasukan Mongol Tar Tar keluar dari tanah Jawa tahun 1293 Masehi. Karena jasa besarnya, Ronggolawe diangkat menjadi Adipati Tuban yang menguasai jalan laut Majapahit ke dunia luar.

“Namun dalam catatan sejarah, Ronggolawe tidak pernah menginjakkan kaki di bumi Lamajang (Lumajang, red). Tidak pernah berkarir ataupun membawa nama harum Lamajang apalagi sampai mempertahankan Lamajang dengan jiwa dan raganya. Ronggolawe sangat identik dengan wilayah yang bernama Tuban dan tidak ada keterkaitan sejarah dengan sebuah wilayah bernama Lamajang atau yang sekarang dikenal sebagai Lumajang,” katanya.

Dengan mengacu data sejarah tersebut, Mansur Hidayat menyatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti kajian filosofis, antropologis, sosiologis maupun kajian historis yang semuanya harus saling kait-mengkait.

“Contohnya Surabaya yang mengangkat lambang Ikan Sura dan Baya atau Buaya yang sedang bertarung. Filosofinya, Sura artinya berani sedang Baya artinya bahaya. Yang mana, kota Surabaya berarti kota yang cenderung berani menantang bahaya. Kajian sosiologisnya, masyarakat Surabaya memang cenderung lebih dinamis karena menghadapi berbagai pertarungan kekuasaan sehingga membentuk karakter keras pada masyarakatnya,” katanya.

Sementara itu, Dwi Cahyono M dosen sejarah Universitas Negeri Malang berpendapat, ikon Jaran Kencak memang terkesan dicuatkan secara ikonik oleh Pemkab Lumajang sebagai ikon baru Lumajang. Selain patung, ada kesenian berupa festival dan kegiatan lain yang mencuatkan ikon ini. Namun, ikon Jaran Kencak ini dinilai kurang pas, karena secara ikonik tidak ada kekhasan atau kelebihan dengan kesenian serupa di daerah lainnya.

“Di Ngadas Kecamatan Poncokusumo, Malang juga ada Jaran Kencak. Di luar budaya Tengger, seperti Tapal Kuda juga ada. Bahkan di Sunda, ada kuda kencak bernama Sisinggaan yang dijadikan arak-arakan kemanten sungat. Di Temanggung juga ada. Artinya, Jaran Kencak dari unsur performing art, apakah kesenian ini milik Lumajang atau daerah lainnya. Ataukah klaim saja, atau milik bersama. Karena kita tidak bisa menyatakan Jaran Kencak milik Lumajang,” urainya.

Seharusnya sebelum memunculkan ikon daerah, bisa dipertimbangkan dari sisi keunikan atau kekhasan daerah, bisa alamiah atau sosial budaya. Bisa flora atau fauna, seperti Batu dengan apelnya. Unsur ikonik lainnya adalah sosial budaya, memiliki akar dalam perjalanan panjang sejarah daerah yang membumi, momentum historis baik peristiwa, tokoh dan pesan penting terkait itu. Sehingga ikon itu familier di masyarakat, teruji lintas waktu dan tidak insidental.

Indikator lainnya yakni aspirasi dan inspirasi, yang memiliki dampak picu terhadap munculnya sesuatu yang positif. “Selanjutnya, pilihan ikon ini harus dibuat Naskah Akademis. Dibahas dengan mengacu konsep, urgensi, sosialisasi dan ada alternatif ikon. Ikon bisa berupa tokoh, peristiwa penting, prestasi dan produk artificial. Sehingga ikon yang dimunculkan diterima masyarakat dan menunjukkan kekhasan daerah itu,” kata Dwi.

Sementara itu Aak Abdullah Al Kudus, Ketua Paguyuban Jaran Kencak Lumajang mengatakan, Jaran Kencak Lumajang memiliki kekhasan untuk dijadikan ikon Lumajang. Pasalnya, Jaran Kencak Lumajang lain dari kesenian serupa di daerah lainnya. Bahkan dari sisi sejarah, Jaran Kencak Lumajang bisa ditelusuri dari peninggalan yang ada.

“Ada gamelan Jaran Kencak di Ranu Bedali yang usianya ratusan tahun dan masih dipelihara. Bahkan di Lumajang pegiat seninya banyak tidak seperti daerah lain. Sisi lainnya adalah unsur promosi daerah, sebab ikon pisang bertahun-tahun juga tidak ada efeknya untuk mengenalkan Lumajang. Orang tidak terlalu mengenal Lumajang meski dijuluki Kota Pisang. Saat ini ada Jaran Kencak, kenapa tidak dimunculkan sebagai fungsi promosi,” kata Aak. (her/iss/ipg)

Teks Foto:
-.Diskusi pengupas ikon Lumajang dari sisi sejarah untuk memperingati Hari Sejarah.
Foto: Sentral FM.

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Teriknya Jalan Embong Malang Beserta Kembang Tabebuya

Bunga Tabebuya Bermekaran di Merr

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Surabaya
Jumat, 18 Oktober 2024
26o
Kurs