Minggu, 24 November 2024

Menguji Demokrasi di Pilwali Surabaya

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Proses pencoblosan di TPS 11 RT 3 RW 7 Kelurahan Gunungsari Kecamatan Dukuh Pakis, Surabaya, Rabu (9/12/2015). Foto : Totok suarasurabaya.net

Puluhan nasi kotak tertata rapi di atas karpet di dalam markas pemenangan Risma-Whisnu di jalan Kapuas, Surabaya Rabu (9/12/2015) petang. Di pojok ruang, puluhan tas plastik berukuran jumbo berisi ratusan bungkus nasi padang juga telah tersaji. Para pendukung-pun, semakin sore, juga rame memadati posko tersebut.

“Assalamualaikum,” begitu sapa Tri Rismaharini yang tiba-tiba datang dan langsung masuk ke dalam ruangan. Seketika, suasana-pun menjadi agak riuh, ratusan pendukung yang sejak pagi setia menunggu di posko langsung berteriak. Pekik takbir dan yel-yel kemenangan bergema.

Mengenakan batik, dengan jilbab coklat, Risma disambut jabat tangan dan pelukan ratusan pendukungnya. “Risma-Whisnu siapa yang punya, Risma-Whisnu siapa yang punya, Yang punya Surabaya”.

Usai bersalaman, Risma langsung naik ke atas panggung kecil yang telah disiapkan. “Ini bukan soal kemenangan,” kata Risma membuka pidato politiknya. “Tapi bagaimana kita meneruskan pembangunan Surabaya. Supaya lebih baik dan sejahtera,” katanya.

Apa yang dialami pasangan Rasiyo-Lucy, bukanlah kekalahan. “Untuk paslon 1, ini bukan kekalahan. Ini adalah sesuatu yang wajar. Mari bersama-sama membangun Surabaya. Hilangkan permusuhan. Esok pagi, kita bangun Surabaya lebih baik,” katanya menutup Victory Speech petang itu.

Whisnu Sakti Buana melanjutkan pidato dengan pernyataan komitmen, bahwa pilkada kali ini tak sekadar ajang persaingan. “Ini adalah amanah. Sudah tidak ada salam dua jari atau satu jari. Tapi seperti yang diminta oleh Bu Risma, sekarang hanya ada salam tiga jari,” ujar Whisnu di panggung yang sama. Victory speech pun lantas diakhiri dengan berpose bersama dihadapan puluhan awak media.

Suasana ceria seperti di posko Risma-Whisnu ternyata tak terasa di posko pemenangan Rasiyo-Lucy yang ada di Jalan Flores, Surabaya. Rasiyo-Lucy adalah penantang Risma Whisnu dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surabaya kali ini. Riuh puluhan pendukung yang sejak pagi mengelu-elukan Rasiyo mulai menghilang. Satu persatu, mereka keluar dan tak kembali ke posko yang telah mereka dirikan sejak tiga bulan silam itu.

Petinggi partai pendukung, baik Demokrat dan PAN juga tak lagi nampak di samping sang calon walikota. Rasiyo seakan sendiri, hanya beberapa tim inti yang masih tampak setia mendampingi, termasuk ikut ketika Rasiyo memberikan keterangan pers mengenai hasil pilkada yang menurut berbagai lembaga survey, menempatkan dirinya sebagai pihak yang kalah.

“Hidup itu harus yakin. Kita sudah kerja keras secara lahir dan batin,” katanya. Sejauh ini, dia tetap mengklaim jika majunya bersama Ning Lucy adalah bagian dari upaya “menyelamatkan demokrasi”. Agar pilkada tidak diundur. “Itu niat utama kami,” ujarnya.

Merasa kalah, bukan berarti Rasiyo menyerah. Dengan nada bergetar, dirinya akan tetap mempertahankan tim inti untuk menginventarisir laporan kecurangan yang terjadi sepanjang gelaran pilkada kali ini. Mantan Sekretaris Daerah Jawa Timur ini juga mengimbau agar para pendukung setianya tenang dan menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya.

Partisipasi Pemilih Masih Rendah

Kemenangan dalam Pilkada hampir pasti akan diterima oleh pasangan Risma-Whisnu, namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya tetap berharap seluruh calon bisa menunggu hasil resmi yang akan diumumkan pada pertengahan Desember ini.

“Hasil resmi tetap menunggu penetapan dari KPU. Silakan menggunakan hasil quick count, tapi tidak bisa dijadikan patokan,” kata Nurul Amalia, Komisioner devisi Teknis dan Data KPU Kota Surabaya. Menurut dia, hasil tabulasi dari formulir C1 memang sudah menunjukkan kemenangan Risma, namun penetapan hasil tetap harus menunggu pleno penetapan yang akan dilakukan oleh KPU.

Dari tabulasi formulir C1 juga diketahui jika tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Surabaya kali ini hanya 52 persen. Angka ini jauh dari yang ditargetkan oleh KPU, yaitu mencapai 70 persen. Namun, melihat sejarah partisipasi pemilih walikota di Surabaya selama ini, angkanya memang tidak pernah lebih dari 60 persen.

“Kalau kita melihat ke belakang, Pilwali 2004 partisipasinya 51 persen. Di tahun 2010 malah anjlok menjadi 44 persen. Jadi sebenarnya angka 52 persen kali ini sudah terjadi peningkatan dibanding sebelumnya,” kata dia.

Rendahnya partisipasi pemilih dikeluhkan oleh Soekarwo Gubernur yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur. “Ada kelemahan di Undang-undang dan PKPU. Memang tujuannya evisiensi, tapi akhirnya partisipasi pemilih jadi rendah, dan ini sudah kami prediksi jauh hari,” kata dia.

Sosialisasi dan kampanye yang diperintahkan PKPU nomor 7 tahun 2015, dinilai telah menjadikan Pilkada kali ini kurang greget. Padahal, dengan rendahnya partisipasi pemilih, bisa diartikan jika kualitas demokrasi juga akan rendah. “Kredibilitas pemimpin akhirnya juga rendah karena dipilih oleh sebagian kecil warganya,” kata dia.

Hal yang sama juga dikatakan Novli Thyssen, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Surabaya. Kurangnya sosialisasi juga menjadikan banyak pemilih pemula yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dari data yang mereka miliki, mayoritas pemilih pemula terpaksa golput karena kurang tertarik dengan pemilihan kepala daerah kali ini.

“Selain itu, mereka rata-rata juga tidak mendapatkan formulir C6. Karakter mereka kan acuh, seolah memang tidak membutuhkan. Adik saya saja, yang seharusnya sudah cukup umur tapi karena tidak mendapat C6, akhirnya tidak ikut mencoblos,” ujarnya.

Tidak hanya formulir C6, KIPP juga menemukan adanya pemilih pemula yang tidak terdaftar dalam DPT. Ada beberapa pemilih pemula yang usianya belum mencukupi, namun saat hari H pemungutan usia mereka sebenarnya sudah mencukupi.

Novli mengatakan, hal ini terjadi karena Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang turun ke lapangan ternyata tidak memperhitungkan usia calon pemilih. PPDP yang tidak cermat dan hasil DPT yang kurang akurat, tentunya akan menyebabkan rentetan permasalahan.

“Kalau data dari PPDP tidak akurat, tentunya akan berdampak pada jumlah logistik yang diperlukan. Ini juga berbuntut pada efektivitas penggunaan anggaran Pilwali,” ujarnya.

Suko Widodo, Pengajar Ilmu Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya mengatakan PKPU nomor 7 tahun 2015 tentang kampanye belum bisa dijalankan dengan maksimal oleh KPU. “KPU mungkin sudah berpengalaman soal sosialisasi namun untuk ngurusi kampanye, saya kira harus dilihat dulu,” kata dia.

Sosialisasi itu untuk informasi yang netral dan tinggal membuat pengumuman. Sedangkan kalau kampanye itu menyangkut strategi, cara mempengaruhi untuk mendukung. “Dan ini saya kira bukan ranahnya KPU. Berbagai elemen harus dirangkul, penggunaan teknologi komunikasi mutakhir juga harus dilakukan,” ujar Suko Widodo.

Robiyan Arifin, Ketua KPU Surabaya membantah pihaknya kurang dalam melakukan sosialisasi. KPU juga telah mengeluarkan beberapa terobosan diantaranya dengan membolehkan pemilih yang tak terdaftar di DPT bisa menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mencoblos. “Kita juga memfasilitasi pemilih yang ingin pindah lokasi TPS. Prinsipnya kita sudah bekerja dengan maksimal. Sosialisasi juga telah kita lakukan dengan maksimal,” kata dia.

Apapun yang telah dilakukan KPU, kata dia, juga telah sesuai dengan PKPU dan peraturan perundang-undangan yang ada. Robiyan mengakui, aturan baru tentang kampanye memang tidak memberikan keleluasaan bagi pasangan calon. “Ini semata untuk efisiensi. Mungkin kedepannya aturan yang ada dievaluasi,” ujarnya.

Sementara itu, Yuristiarso Hidayat, Koordinator Media Center KPU Kota Surabaya mengatakan, sistem Pilkada secara serentak yang saat ini dilakukan sebenarnya sudah sangat tepat. Hanya pelaksanaannya memang perlu terus dievaluasi.

“Tahun 2010 saya melakukan penelitian bahwa model penyelenggaran Pilkada memang harus serentak. Saat itu saya menamakannya sebagai Pilkada Bersama, bukan Pilkada Serentak. Tapi prinsipnya sama disetting untuk menyatukan Pilkada dalam satu waktu,” kata Yuris.

Menurut Yuris, hasil penelitian yang dibiayai oleh Dirjen Dikti dan digunakan sebagai tesis di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta itu menemukan jika dengan pelaksanaan Pilkada Bersama maka akan menjadikan Pilkada lebih efisien dengan partisipasi publik yang lebih meningkat.

Saat itu, Yuris melakukan penelitian terhadap pelaksanaan Pilkada serentak di Jawa Timur pada 23 Juli 2008 yang menggabungkan antara Pemilihan Gubernur bersamaan dengan Pilkada Bondowoso, Lumajang, Jombang dan Kota Malang. Hasil dari kajian ini, ternyata Pilkada Bersama bisa meningkatkan partisipasi pemilih karena gebyar pemilihan bisa terasa.

“Model Pilkada Bersama adalah yang paling cocok dilakukan. Namun untuk saat ini, memang model pembiayaanya yang harus dievaluasi karena dengan pembiayaan kampanye oleh KPU ternyata kurang efektif,” kata Yuris yang mengaku jika tesisnya tersebut lantas dijadikan sub topik penelitian besar terkait Pilkada Bersama yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Kini Pilkada Surabaya sudah hampir usai dan tinggal menunggu penetapan yang akan dilakukan oleh KPU. “Semoga Pilkada yang akan datang bisa diperbaiki lagi sehingga partisipasi pemilih bisa meningkat dan pesta demokrasi benar-benar bisa dirasakan oleh semua pihak,” ujar Yuris. (fik)

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs