“Belanjanya ini saja? Mau pakai kantong plastik? Ada biaya tambahan 200 rupiah, ya?” pertanyaan ini barangkali akan semakin sering kita dengar saat berbelanja di pasar swalayan bila cukai kantong plastik benar-benar diterapkan 2020 mendatang.
Cukai terhadap kantong plastik adalah langkah Sri Mulyani Menteri Keuangan untuk mengendalikan penggunaan kantong plastik yang telah dia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (2/7/2019) kemarin.
Wanita yang pernah menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia itu berharap, bila penerapan cukai kantong plastik dapat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai mengingat Indonesia ada di posisi kedua peringkat dunia sebagai pencemar sampah plastik terbanyak di laut.
“Ini untuk mendorong orang pindah ke pemakaian yang berulang-ulang dan jenis kantong yang tidak terbuat dari plastik,” kata Heru Pambudi Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta, dikutip Antara.
Tarif cukai kantong plastik yang diusulkan Sri Mulyani sebesar Rp30.000 per kilogram atau jika tarif itu dihitung satuan harganya antara Rp200-Rp500 per lembar.
Rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pun berakhir manis, gagasan cukai plastik diterima dengan baik. Bahkan kalangan dewan menyarankan agar kebijakan fiskal itu diterapkan juga pada jenis plastik lainnya.
Berbeda dengan Komisi XI DPR RI, gagasan cukai plastik ini secara tegas ditolak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dipimpin Airlangga Hartanto. Kemenperin menilai, penerapan cukai plastik akan menurunkan daya saing industri di Indonesia karena masih banyak yang bergantung pada plastik sebagai bahan bakunya.
Jalan panjang plastik berbayar di Indonesia
Meski masih berupa rancangan, cukai plastik adalah satu dari banyaknya upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai khususnya kantong plastik di Indonesia.
Kebijakan plastik berbayar sempat diterapkan pada 23 Februari 2016 lalu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggandeng 22 Pemerintah Kota untuk menerapkan aturan plastik berbayar di setiap toko ritel di kota-kota tersebut.
Saat itu, setiap konsumen yang berbelanja di toko ritel harus membayar Rp200 untuk mendapatkan kantong plastik untuk membawa belanjaan mereka. Ini diterapkan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Balikpapan, dan Makassar.
Hanya dalam hitungan dua bulan, kebijakan itu dihentikan karena hanya berupa uji coba yang dapat dilanjutkan dan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) KLHK. Tetapi sampai skarang, tidak ada tindakan lebih lanjut mengenai regulasi itu setelah tahapan uji coba selesai.
Pada Maret 2019, Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) kembali menerapkan aturan serupa terhadap 40 ribu pengusaha ritel anggotanya secara serentak di Indonesia. Aturan itu dinamai KPTG (Kantung Plastik Tidak Gratis).
“Ini adalah langkah nyata dari gerai ritel modern untuk mengajak masyarakat agar menjadi lebih bijak menggunakan kantung belanja plastik, sekaligus menanggulangi dampak negatif lingkungan akibat sampah plastik,” ujar Roy Mandey Ketua Umum Aprindo.
Selain itu, beberapa daerah telah mengembangkan gagasan tentang pembatasan kantung plastik ini dengan melarang penggunaan plastik sekali pakai di dalam peraturan daerah. Di antaranya seperti terjadi di Balikpapan, Banjarmasin, Jakarta, Bali, dan Bogor.
Kehadiran Perda pelarangan plastik dan rancangan cukai plastik ini akhirnya menjadi tantangan baru bagi pelaku industri yang bergantung pada plastik. Mereka harus memutar otak supaya bisnis dan iklim persaingan tetap meningkat dan berjalan dengan baik.
Efektivitas Cukai Plastik
Rancangan aturan cukai plastik menuju Peraturan Menteri Keuangan oleh Menteri Sri Mulyani tampaknya masih perlu diteliti lebih dalam supaya bisa efektif mengurangi pemakaian plastik sekali pakai tanpa menganggu iklim industri yang berpengaruh pada ekonomi negara.
Beberapa hal yang harus diteliti secara mendalam mulai dari segi harga, dampak terhadap industri, serta dampak terhadap lingkungan. Fithra Faisal Ekonom Universitas Indonesia mengatakan harga yang diusulkan Menteri Sri Mulyani cenderung inelastis berdasarkan hukum elasticity of demand atau elastisitas permintaan.
“Kecenderungan masyarakat kelas menengah untuk berbelanja di pasar swalayan, dengan besaran Rp200 hingga Rp500 ini tidak akan terlalu banyak mengubah perilaku penggunaan kantong plastik,” kata Fithra, Kamis (4/7/2019).
Menurutnya, Indonesia perlu mencontoh negara lain yang berhasil menerapkan kebijakan serupa seperti Jepang.
“Satu plastik bisa sampai 100-200 yen setara Rp10.000-Rp20.000. Plastik ukuran besar bisa sampai 500 yen, ini pun jenis plastik untuk sampah,” ujar Fithra menjelaskan besaran harga yang elastis untuk mengubah pola pengguna plastik sekali pakai di Negeri Bunga Sakura itu.
Selain dari segi efektivitas harga dalam mengubah perilaku konsumen, Menteri Sri Mulyani juga harus berkoordinasi secara langsung dengan kementerian lain yang terdampak jika kebijakan cukai plastik ini diterapkan, terutama kementerian industri.
Mohamad Faisal Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia berharap adanya koordinasi antarkementerian sehingga tidak terjadi penolakan, seperti yang dilontarkan oleh Kementerian Perindustrian.
Menurutnya, cukai plastik akan sangat berdampak pada industri yang bergantung pada plastik sebagai salah satu bahan baku industri. Faisal mencontohkan industri makanan dan minuman yang didominasi kemasan plastik. Menurutnya, industri ini akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi jika cukai plastik benar-benar diterapkan untuk seluruh jenis plastik.
“Ya Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan pihak-pihak terkait jika ingin mengeluarkan sebuah kebijakan sejenis ini harusnya berkoordinasi terlebih dahulu, terutama menyangkut masalah ekonomi,” kata Faisal.
Hal yang perlu dikaji lebih mendalam, menurut pengamat ekonomi itu, adalah jenis-jenis kantong plastik seperti apa yang akan dikenakan cukai, yang memang benar-benar berdampak terhadap lingkungan.
Tiza Mafira Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik mengatakan, penerapan tarif cukai yang lebih rendah terhadap plastik berjenis oxodegradable yang dianggap ramah lingkungan, menurutnya tidak tepat.
“Iya terurai lebih cepat, secara kasat mata hilang, tapi kan mikroplastik yang dihasilkan malah semakin banyak dan mengancam kehidupan di bawah laut. Iya, kan?” kata Tiza.
Mikroplastik adalah plastik yang sangat kecil dan tidak kasat mata berukuran 5 milimeter yang termasuk kategori kandungan yang mencemari lingkungan. Salah satu dampak mikroplastik yang sudah dirasakan Indonesia adalah penurunan harga jual ikan-ikan yang terpapar mikroplastik.
Hal itu seperti dikatakan Niko Amrullah Kepala Kajian Strategis Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia Juni lalu. “Di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan sebanyak 25 persen ditemukan ikan yang mengandung plastik, ini menurunkan daya jual ikan,” kata Niko.
Jika cukai plastik memang harus ditetapkan, setidaknya antarkementerian yang terkait dengan kebijakan fiskal ini saling berkoordinasi agar menghasilkan sinergi ekonomi yang baik dan dapat diterapkan secara efektif.
Tidak hanya itu, penetapan cukai plastik ini juga tidak terlepas oleh pola masyarakat dalam menggunakan plastik sekali pakai sehingga sebagai Warga Negara Indonesia sudah seharusnya mengurangi penggunaan plastik menciptakan Indonesia bebas sampah plastik.(ant/rst/tin)