Minggu, 24 November 2024

Peneliti Ungkap Penyebab Longsor di Pacitan

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan

Tim peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memberi rekomendasi kepada Pemkab Pacitan, Jawa Timur untuk memperbaiki vegetasi tanaman di area hulu yang menjadi kawasan tangkapan hujan, agar bencana tanah longsor tidak terus terjadi di daerah tersebut.

“Bencana tanah longsor yang selalu menghantui masyarakat di wilayah Kabupaten Pacitan, tidak lepas dari pengaruh area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brungkal maupun Grindulu,” ungkap Evita Pramudianti tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Rabu (28/10/2015).

Evita menjelaskan, kondisi kawasan tangkapan air pada bagian hulu yang beralih fungsi dan “alterasi hidrotermal” ikut mendorong terjadinya kerawanan itu.

“Seperti di lahan sekitar pemandian air hangat di Kecamatan Arjosari,” ujarnya dilansir Antara.

Dalam paparannya Evita menjelaskan adanya perbedaan kondisi area tangkapan di Kecamatan Nawangan tahun 1999 dan 2014.

Dalam kurun waktu itu, telah terjadi banyak perubahan signifikan pada wilayah itu, karena luas lahan pertanian bertambah secara cepat. Belum lagi keberadaan saluran irigasi dan bangunan air pada area yang sama.

Padahal idealnya, kata dia, untuk wilayah tangkapan air vegetasi harus terjaga. Sebab vegetasi dapat menurunkan volume air larian (run off) yang menjadi faktor penyebab terjadinya erosi, mengikat partikel-partikel tanah dan menurunkan tingkat kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi yang pada gilirannya akan mengurangi potensi terjadinya tanah longsor.

“Kondisi air tanah juga ikut terpengaruh. Saat kami mengambil sampel tanah yang berwarna kemerahan, tercium bau karat. Hasil tes laboratorium mengindikasikan ada kandungan besi pada air,” paparnya.

Terkait alterasi hidrotermal di kawasan lahan pemandian air hangat di Desa Karangrejo, lanjut dia, hal itu berkaitan dengan sejarah pembentukan kawasan itu sendiri.

Menurut penjelasan Evita, pada masa tersier lokasi tersebut adalah salah satu bagian gunung api purba di Pulau Jawa.

Alterasi hidrotermal dapat meningkatkan proses pelapukan batuan secara cepat dalam kurun waktu 40 hingga 50 tahun.

Sampai sejauh ini, katanya, longsor lahan dalam skala besar belum pernah terjadi. Namun, adanya alterasi hidrotermal yang dicirikan dengan munculnya sumber mata air panas, mengakibatkan tanah-tanah di sekitar memiliki tanah dengan solum tebal dan meningkatkan bahaya longsor lahan.

“Tanah antara Desa Karangrejo sampai Pakisbaru (Nawangan) terlihat seperti batu. Tapi sebenarnya lempung (tanah liat),” ujarnya.

Tri Mudjiharto Kepala Pelaksana BPBD Pacitan mengatakan kegiatan workshop tersebut merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana, yakni dengan melakukan kajian risiko bencana tanah longsor sebagai dampak dari alterasi hidrotermal.

Hasil dari workshop tersebut diharapkan bisa menjadi acuan atau rekomendasi bagi pihak-pihak terkait untuk dapat mengambil langkah-langkah untuk menyikapinya.

“Dari kajian tersebut akan diketahui apakah hidrotermal itu mempengaruhi tanah longsor di Kabupaten Pacitan atau tidak,” katanya. (ant/bid/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
28o
Kurs