Tidak semua orang bisa menghadapi penolakan sampai 32 kali, seperti yang dialami Livi Zheng, gadis 26 tahun asal Blitar, Jawa Timur yang mampu menaklukan industri perfilman Hollywood, Amerika Serikat. Berkat kerja keras dan semangat pantang menyerah, Brush With Danger, film perdana Livi berhasil masuk seleksi nominasi Piala Oscar ke-87.
Saat bertandang ke Suara Surabaya, Livi Zheng mengungkapkan betapa keras perjuangannya meraih cita-cita menjadi seorang sutradara film.
Livi mengawali kisahnya saat pertama kali belajar beladiri Wushu di sekolah beladiri Shi Cha Hai Sports School, Beijing, China. “Sejak kecil hobi bela diri. Setelah lulus SMP, saya pindah ke Beijing dan menekuni beladiri Wushu. Sekolahnya bagus banget, Jet Li lulusan situ. Saya latihan pagi sore, bisa empat sampai enam jam sehari,” katanya.
Ketertarikannya di dunia film semakin besar saat dirinya memasuki bangku kuliah. “Awalnya sering bantu-bantu di set, sempat jadi production assistant dan asisten sutradara juga. Akhirnya, baru di tahun ke lima baru bisa menyutradarai Brush With Danger,” katanya bersemangat.
Selain bermimpi dan terus mengasah kemampuan, Livi juga jeli melihat peluang. Hal itu terbukti dengan keputusannya untuk menawarkan ide filmnya ke seorang executive produser yang ditemuinya di sebuah sekolah kungfu.
“Dia sudah belajar kungfu 20 tahun, sudah ke Asia lebih dari sepuluh kali dan dia memang suka banget culture Asia,” kata Livi menggambarkan executive produser tersebut.
Saat pertama kali menawarkan ide film Brush With Danger, executive produser tersebut bertanya apakah Livi sudah memiliki skenarionya. “Saya langsung mencoba menulis skenarionya. Beberapa bulan kemudian, saya kasih ke dia dan ternyata 80 persen dibuang. Katanya kurang dramatis, karakternya kurang kuat, ada adegan yang dibuang, kurang bagus kalau difilmkan,” kata Livi.
Setelah mengalami penolakan yang ke-32 kali, executive produser itu baru mengatakan, “This film is sewable. “Maksudnya, layak syuting tapi belum dapat sponsor,” katanya.
Livi pun tak membuang waktu, dirinya langsung mencari kru terbaik yang bisa dia dapatkan. “Di Amerika itu ada ungkapan you only as good as your last job. Jadi kalau film terakhir yang mereka kerjakan itu gagal, setelah itu kru agak susah mencari job selanjutnya. Jadi mereka gak mau sembarangan menerima project,” kata Livi.
Setiap kali mengalami penolakan, Livi menghibur diri dengan membeli makanan Indonesia. “Saya langsung menyetir selama satu jam ke tempat jual mie. Itu mie yang enak banget. Rasanya bisa mengobati kerinduan pada rumah. Kebetulan saya juga tidak bisa memasak,” katanya lantas tergelak.
Setelah film Brush With Danger tayang selama dua minggu di bioskop Amerika, Livi menerima e-mail yang menyatakan kalau filmnya berhasil masuk seleksi nominasi Piala Oscar ke-87. “Saat itu saya sangat gak percaya. It`s too good to be true. Saya langsung telepon orang tua saya, bilang kalau ada orang iseng. Mereka ketawa aja,” kata Livi.
Sampai pada akhirnya dia diminta untuk mengirim filmnya untuk jadi koleksi perpustakaan Oscar. Saking penasarannya, Livi mengantarkan file filmnya sendiri. “Ternyata benar di gedung Oscar. Film saya masuk ke-323 besar seleksi Oscar,” kata Livi.
Saat panitia Piala Oscar merilis nama-nama film di website mereka, Livi baru percaya. “Oh my God this is happening! Dari situ saya belajar, it`s okay to failed. It`s okay to get rejected. Because you only need one yes to be succesfull,” kata Livi sambil tersenyum bangga.(iss/ipg)
Teks Foto:
1. Livi Zheng saat menghadiri perhelatan Piala Oscar ke-87.
2. Poster film Brush With Danger, karya Livi Zheng.
Foto: Livi Zheng via Redaksi.