Menjelang datangnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir 2015, daya saing industri Indonesia sebesar 68,7 persen masih rendah. Sisanya, hanya 31 persen industri Indonesia yang berdaya saing tinggi.
“Kalau dibandingkan Singapura dan Thailand ya jelas tertinggal kita,” kata Mudrajad Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Gajahmada (UGM) di Surabaya, Rabu (7/10/2015).
Menurut Mudrajad, ada banyak faktor mengapa daya saing industri Indonesia masih mengkhawatirkan, salah satunya adalah inefisiensi pembayaran upah tenaga kerja yang membuat kinerja industri tidak maksimal.
“Tenaga kerja Indonesia itu tidak efisien dalam hal upah. Saya usulkan kenaikan UMK (Upah Minimum Kerja) itu jangan naik setiap tahun, tapi 2 sampai 3 tahun saja. Lalu kenaikan itu tidak menurut daerah, tapi menurut sektor. Selain itu, tenaga kerja kita juga banyak yang tidak terampil. Lainnya ya soal ketidaksiapan teknologi, inflasi, dan infrastruktur yang belum memadai,” ujar dia.
Belum maksimalnya industri di Indonesia, menurut Mudrajad, juga diperparah oleh kinerja para pemangku kebijakan (stakeholder) di Indonesia.
“Korupsi, apalagi di luar Pulau Jawa dan Bali. Mulai dari Bupati, Walikota, sampai sekda itu korupsinya tinggi menurut penelitian yang saya lakukan,” katanya.
Namun menurut Mudrajad, sejak tahun 1993 sektor industri memang memberikan sumbangan yang terbilang besar untuk Indonesia.
“Sekor industri itu luar biasa memang sebenarnya, bahkan sektor pertanian sudah kalah sama sektor industri sejak tahun 1993. Ini tren yang luar biasa, harus dipikirkan ulang Indonesia ini geraknya mau kemana, mau jadi negara agraria kah atau negara industri,” ujar dia. (dop/rst)