Sabtu, 23 November 2024

Lumajang Ternyata Usulkan Selok Awar-awar Sebagai Wilayah Tambang

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Ilustrasi

Potensi konflik tambang pasir besi di Lumajang harusnya tidak terjadi jika pemerintah kabupaten setempat tanggap dan sejak jauh hari bisa memfasilitasi tambang tradisional yang melibatkan warganya. Sayangnya, kepekaan ini tidak dilakukan oleh pemerintah Lumajang.

“Sebetulnya ada wadah bagi kabupaten mengakomodasi penambang rakyat dengan menetapkan WTR (wilayah pertambangan rakyat), jadi memang dikususkan izin tambang untuk rakyat,” kata Dewi J Putriatni, Kepala Dinas Energi dan Sumberdana Mineral (ESDM) Pemerintah Jawa Timur pada Radio Suara Surabaya, Rabu (30/9/2015).

Menurut Dewi, WTR bisa ditetapkan jika pemerintah kabupaten setempat ikut aktif melakukan fasilitasi, karena penetapan WTR tetap mensyaratkan adanya biaya reklamasi, serta laporan berkala eksplorasi yang dilakukan pemerintah daerah. Study kelayakan juga menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten.

Jika wilayah tersebut ditetapkan WTR, memang akan mensejahterakan para penambang tradisional atau masyarakat Lumajang. “Tapi kabupaten siap ndak membuatnya. Jadi kalau WTR memang diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi kan tetap tidak boleh asal mengeruk dan meninggalkan begitu saja, makanya kalau WTR kabupaten yang bertanggung jawab penuh untuk proses reklamasinya,” kata Dewi.

Tambang pasir memang selalu menjadi magnet bagi masyarakat karena pasir merupakan galian yang paling gampang karena tinggal menggali dan sudah bisa dijual. Kasus di Selok Awar-awar, Lumajang bermula dari pertambangan ilegal yang dilalakukan secara tradisional.

Dari catatan Dinas ESDM, kawasan pesisir Lumajang termasuk Selok Awar-awar memang telah diusulkan oleh Bupati Lumajang sebagai Wilayah Pertambangan (WP) mineral logam pasir besi. Kementerian ESDM-pun juga telah menyetujui jika kawasan itu masuk kategori WP, dan bukan WTR.

“Dari catatan kami, yang memiliki izin tambang di kawasan itu adalah PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS). Tapi PT IMMS ini sejak Januari 2014 sudah menghentikan produksinya. Mulai saat itu muncul penambang pasir liar,” kata Dewi.

Izin tambang IMMS sendiri sebenarnya masih berlaku karena izin dikeluarkan selama 10 tahun, namun karena perusahaan itu tak sanggup membangun smelter sebagai prasyarat untuk mengolah pasir besi, mereka akhirnya menutup proses eksploitasi pasir besi di kawasan itu.

Kandungan besi di sekitar pesisir lumajang memang tinggi karena diatas 60 persen. Namun tambang pasir liar yang dilakukan masyarakat sebenarnya bukan untuk mencari kandungan besinya, melainkan murni pasir untuk bahan bangunan.

Dewi juga mengatakan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, maka kewenangan izin tambang pasir mulai tahun 2015 ini beralih dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi.

Dari catatan Dinas ESDM, di Lumajang saat ini ada 60 perusahaan yang memiliki izin tambang. “Kita saat ini sedang memetakan izin-izin yang masih berlaku, dan yang tumpang tindih. Prinsipnya perizinan akan kami tertibkan,” kata dia.

Sementara itu, terkait status WP di sepanjang pesisir Lumajang, pemerintah daerah sebenarnya juga bisa mengusulkan untuk mengubah peruntukannya menjadi kawasan wisata. “Tapi semua bergantung kabupaten maunya seperti apa,” ujarnya. (fik)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs