Soekarwo Gubernur Jawa Timur optimis Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mampu menjadi andalan untuk menempa Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
“Anak-anakku di SMK, kalian adalah bagian yang disiapkan oleh pemerintah untuk menjadi pemenang dalam pertarungan menghadapi MEA,” ujarnya saat membuka Pameran Karya Cipta Siswa SMK/Mahasiswa dan Job Matching di JX Internasional Surabaya, Kamis (17/9/2015).
Soekarwo menegaskan, momentum MEA jangan dianggap menakutkan, tapi sebaliknya harus direspon sebagai peluang paling bagus buat Jawa Timur.
“Jangan takut dengan MEA, justru nanti produk kultural kita akan menang di tempat lain. Seperti rawon nanti pasti paling bagus direspons negara lain,” katanya.
Menurut Soekarwo, untuk menghadapi pasar bebas, pihaknya sudah menyiapkan strategi. Diantaranya dengan memahami siklus daya saing yang di dalamnya ada industri, SDM, Pembiyaaan dan Pasar.
“Kalau industri dibenahi, SDM juga dibenahi maka kita tidak akan kalah. Sekarang saja 20,6 persen pasar dalam negeri, sudah disuplai dari Jatim. Ini sudah seperlima lebih kita kuasai,” katanya.
Untuk mengatasi industri di dalam krisis saat ini, menurtnya yang bisa dilakukan adalah merubah skema pembiayaan. “Karena bahan bakunya naik,” katanya.
Namun, menurut Soekarwo, kondisi ini akan melorot apabila tidak diimbangi dengan peningkatan SDM. Maka dari itu, SMK harus menggandeng Badan Standarisasi Sertifikasi. Tujuannya, agar lulusan SMK bisa masuk pada pasar tenaga kerja internasional.
“Saat ini, Jatim terus melakukan kerjasama dengan Bisnis Council, Osaka, Australia hingga atase pendidikan Jerman,” katanya.
Soekarwo memastikan bahwa, saat ini setiap negara di dunia tengah meningkatkan kualitas SDM dengan menggenjot keterampilan tingkat menengah, yakni membentuk politeknik dan SMK.
Di Jatim sejak tahun 2010, ingin merubah komposisi sekolah yang awalnya 70 SMU : 30 SMK diubah menjadi 70 SMK : 30 SMU.
“Kami ingin merubah komposisi ini, karena lulusan SD hingga SMU sama buta hurufnya di bidang keterampilan, sehingga mereka menjadi tenaga kerja informal. Oleh karena itu, komposisi ini harus dipecahkan dengan menempatkan 70 SMK : 30 SMU,” katanya.(din/fik)