Sabtu, 23 November 2024

Tanpa Surat Penangkapan, Polisi Paksa Petani Akui Pemalsuan

Laporan oleh Bruriy Susanto
Bagikan
Kuncoro (kiri) saat memberikan testimoni. Foto: Bruriy suarasurabaya.net

Kontras Surabaya menggelar testimoni para korban yang mendapatkan perlakukan kekerasan fisik maupun non fisik di sebuah hotel Jalan Pandegiling, Surabaya, Selasa (15/9/2015).

Dalam testimoni itu turut hadir Bambang Widjojanto pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, aktivis Koalisi Anti Kriminalisasi, Ratna Hastasari seorang hakim, serta dosen dari Universitas Brawijaya.

Fatkhul Khoir Koordinator Kontras Surabaya mengatakan, pihaknya mengundang Ali Murtadha alias Tajul Muluk tokoh Syiah asal Sampang dan Kuncuro seorang petani, untuk memberikan testimoni. “Sebenarnya kita sudah mengundang Tajul Muluk, tapi berhalangan, karena ada urusan,” kata Fatkhul.

Lantaran, Tajul Muluk tidak bisa hadir, akhirnya Kuncuro, sebagai seorang petani dan pedagang benih jagung yang memberikan testimoni. “Testimoni ini ingin melihat sejauh mana perkara yang ditangani kepolisian, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan sampai di pengadilan,” ujar dia.

Dalam testimoni tersebut, Kuncoro mengaku kalau dirinya pernah ditangkap anggota Satreskrim Polres Kediri pada Januari 2010 lalu. Dia dituduh memalsukan benih padi milik PT BISI sehingga harus dipenjara selama delapan bulan.

Padahal, kata Kuncoro, saat menangkap dirinya di rumahnya, polisi tidak membawa saksi ataupun atau pengurus RT/ RW. Bahkan, termasuk surat penangkapan dan penggeledahan.

“Petugas datang secara tiba-tiba dengan membawa delapan ton jagung, dan dua kwintal padi miliknya. Katanya itu barang bukti (BB). Tapi, saat saya tanya perkara tidak disebutkan terkait kasus apa,” kata Kuncoro.

Bahkan, saat dibawa ke kantor polisi, dirinya langsung dimasukkan ke dalam tahanan. Keesokan harinya baru dilakukan pemeriksaan. Ketika diperiksa, Kuncoro dipaksa oleh penyidik, agar mengakui telah melakukan kejahatan. Jika tidak mengaku, dia akan dipukul.

“Kamu tak tonjok (saya pukul, red) kalau tidak mengaku. Tapi, saya tetap tidak mengaku,” ujar dia.

Lantaran tidak mengaku, penyidik akhirnya mengubah pasal tuntutannya, dari pemalsuan menjadi pasal pengedaran budidaya tanaman tanpa izin. Akhirnya kasus itu sampai di persidangan dan dirinya harus menjalani hukuman.

Secara terpisah Bambang Widjojanto Pimpinan KPK non-aktif mengaku, perkara yang dipaksakan bisa dilihat dari beberapa indikator. Seperti yang menimpa Kuncoro, polisi selalu bolak-balik pergi ke kejaksaan, karena penyidik kesulitan menemukan alat bukti yang kuat.

“Ada kerjasama antara pihak-pihak tertentu, agar berkasnya itu bisa berjalan dengan lancar atau mulus,” kata Bambang Wijayanto.

Menurut dia, kegiatan testimoni seperti ini menarik dan bisa membuka wawasan mengenai hukum. Sebab, kedepannya, masyarakat itu harus mengerti dan paham tentang hukum. “Minimal, masyarakat itu harus belajar kritis menanyakan surat penangkapan jika memang ditangkap, kemudian surat penggeledahan jika rumahnya akan digeledah,” ujar dia. (bry/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs