Melemahnya nilai tukar rupiah (depresiasi) rupiah seharusnya menjadi momen yang baik bagi perusahaan ekspor Indonesia untuk meraup keuntungan. Namun ternyata ada juga perusahaan ekspor yang tidak bisa memanfaatkan peluang ini.
Muhammad Zaki Wakil Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Impor (GPEI) Jawa Timur mengatakan industri percetakan merupakan salah satu contoh yang tidak mampu memanfaatkan peluang ini.
“Perusahaan ekspor yang gagal memanfaatkan peluang ini adalah perusahaan yang masih ketergantungan dengan bahan baku impor. Tinta di Indonesia itu banyak yang impor dari Amerika. Jadi, di situasi seperti ini, tetaplah industri percetakan bisa untung, tapi ya tidak banyak-banyak,” ujarnya saat dihubungi suarasurabaya.net, Selasa (25/8/2015).
Selain bahan baku yang masih impor, masalah dwelling time juga masih menjadi momok bagi pengusaha ekspor di Indonesia.
“Ya dwelling time itu memang membuat inefisiensi waktu. Yang rugi pengusahanya, itu bisa rugi sampai 2 persen. Meskipun kecil, tapi ini juga bisa membuat neraca perdagangan kita minus. Ini harus diperhatikan bagi petugas kepabeanan,” ujar dia.
Namun Zaki mengakui ada pula perusahaan ekspor Indonesia yang mengalami keuntungan besar dengan melemahnya nilai tukar rupiah.
“Komoditas perkebunan itu bisa untung besar. Dengan catatan yang diekspor adalah barang jadi. Kopi misalnya, kan bahan bakunya ya dari dalam negeri. Kalau ekspornya barang jadi, bukan hanya biji mentah, itu keuntungan yang bisa didapatkan antara 35 sampai 45 persen,” katanya.
Seperti diketahui, hingga Selasa (25/8/2015) pagi, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mencapai Rp14.020. Rupiah melemah 25 poin dibandingkan sebelumnya yakni Rp13.995 per dollar Amerika Serikat. (dop/ipg)