Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya jika mampu memanfaatkan salah satu keunggulannya yakni keberagaman tradisi dan budaya pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir tahun 2015 ini.
Namun kadangkala tradisi dan budaya sering berbenturan dengan fanatisme agama yang sedang marak di negeri ini. Bagaimana mengatasinya?
Aribowo Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya mengatakan bangsa ini harus benar-benar memahami dan menggunakan falsafah Bhinneka Tunggal Ika untuk “melerai” benturan itu.
“Indonesia itu memang negara yang plural. Terdiri dari berbagai etnis, agama, daerah, dan bahasa. Tapi kita punya Bhinneka Tunggal Ika. Dengan Bhinneka Tunggal Ika, toleransi itu bisa muncul. Contoh, orang Indonesia mayoritas Islam. Dengan Bhinneka Tunggal Ika yang sudah diterapkan sejak dulu, Gereja, Pura, nyatanya boleh berkembang kan,” ujar dia kepada suarasurabaya.net, Minggu (9/8/2015).
Menurut Aribowo, pada dasarnya, konflik antara tradisi atau budaya dan agama sendiri merupakan sesuatu yang fluktuatif. Namun memang perlu adanya upaya dari pemerintah untuk meredam konflik itu.
“Di negara manapun konflik (tradisi atau budaya dan agama—red) itu pasti ada, itu mutlak terjadi. Apalagi di negara sebesar ini. Karena ini merupakan bagian dari dinamika. Namun negara harus sanggup mengelola frekuensinya,” kata dia.
Untuk menghadapi MEA sendiri, Aribowo mengatakan jika kesiapan Indonesia dari sisi budayanya tidak bisa diukur dari segi keseniannya saja. Pasalnya, kebudayaan memiliki arti yang cukup luas.
“Ya banyak yang harus disiapkan, karena budaya itu konsep yang luas. Bukan hanya kesenian, teknologi, norma-norma, perilaku juga merupakan kebudayaan,” ujarnya. (dop/dwi)