Jumat, 22 November 2024

Hari Raya Kuningan dan Memudarnya Tradisi Ngelawang di Bali

Laporan oleh Jose Asmanu
Bagikan
Ngelawang. Foto: aricuitcuit.blogspot

Umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Kuningan, Sabtu (25/7/2015), yang merupakan rangkaian Hari Raya Galungan pada 15 Juli 2015 lalu.

Gede Raka Yuda, pemangku adat di Bali mengatakan, ada satu tradisi perayaan Hari Raya Kuningan dan Galungan yang mulai ditinggalkan umat Hindu di Bali.

“Tradisi itu adalah Ngelawang. Meskipun masih berlangsung, namun tidak semarak seperti Galungan dan Kuningan sebelumnya. Anak-anak kayaknya lebih asyik bermain play station daripada ikut ngelawang,” katanya kepada suarasurabaya.net.

Ngelawang berasal dari kata lawang yang artinya pintu masuk. Secara filosofis, tradisi ngelawang bukan sekadar hiburan tapi juga sebagai kesenian sakral untuk menyucikan dunia, menolak bala dan menetralisir alam untuk mewujudkan ketentraman dunia.

Dalam prakteknya, ngelawang juga bisa mengharmoniskan hubungan warga. Sebab, antara pihak yang ngelawang dengan warga yang dikunjungi, berbaur, tidak ada sekat, bahkan warga yang dikunjungi dengan ikhlas memberinya uang.

“Ngelawang itu dilakukan dengan membawa pelatan musik tradisional Bali, dari satu tempat ke tempat yang lain, sambil mengarak Barong yang dimainkan anak-anak dan remaja. Mirip dengan ngamen, begitulah,” tutur Raka.

Galungan adalah hari raya agama Hindu yang dimaknai sebagai kemenangan melawan sifat-sifat buruk, yakni rajas dan tamas.

Karenanya, rangkaian Hari Raya Galungan diawali dengan penyucian alam semesta, enam hari sebelum Galungan yangg disebut Sugihan Jawa. Dilanjutkan penyucian buana alit atau penyucian diri dengan meditasi dan puasa atau Sugihan Bali, pada keesokan harinya.

“Hal ini dilakukan karena begitu memasuki uku dinggulan, tiga hari sebelum Galungan, manusia di bumi akan digoda oleh tiga sifat buruk, pengaruh energi negatif tiga Bhuta Kala,” kata Raka.

Ketiganya yakni Bhuta Kala Amengkurat yang mempengaruhi sifat kekuasaan; Bhuta kala dunggulan yang mempengaruhi sifat egois dan menang sendiri; dan Bhuta Kala Galunggung dengan sifat cepat marah marah.

“Bila kita mampu melewati ketiga godaan ini, maka pada hari Rabu Kliwon dirayakan sebagai hari kemenangan atas segala sifat buruk atau adharma,” tambahnya.

Setelah merayakan kemenangan, kita diingatkan untuk selalu meningkatkan kesadaran, maka harus dibentengi dengan pengetahuan suci, kebijaksanaan agar hidup penuh kemakmuran dan kesejahteraan.

“Ini makna Hari Raya Kuningan yang berasal dari kata Kahuningan atau berpengetahuan,” kata Gede Raka. (jos/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs