Sabtu, 23 November 2024

Kupat Ketheg Giri Menu Tradisi Malam Slawe

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan

“Malam slawe” adalah malam tepat menunjukkan tanggal 25 Ramadhan, atau hari ke-25 bulan puasa. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia, malam slawe merupakan salah satu malam dalam meraih “Lailatul Qadar”, yakni malam dengan amalan bernilai seribu bulan.

Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ada banyak tradisi menyambut malam tersebut, salah satunya tradisi kuliner Kupat (Ketupat) Ketheg, yang konon merupakan satu dari beberapa kuliner peninggalan Kerajaan Giri Kedhaton, atau Sunan Giri.

Kuliner yang hampir punah ini hanya bisa ditemui di sekitar lokasi Wisata Religi Sunan Giri yang berada di Desa Giri, Kecamatan Kebomas pada setiap tanggal 25 Ramadhan hingga tujuh hari setelah Lebaran (H+7 Lebaran).

Kenapa hampir punah? Karena bahan olah utama yang digunakan dalam makanan ini keberadaanya sangat minim, yakni air ketheg atau air endapan minyak mentah yang keluar dari sumur minyak tua berwarna kehijau-hijauan.

Air ketheg yang juga disebut oleh masyarakat Gresik sebagai air Lanthung inilah yang menjadi bahan olah utamanya, yang mampu memberikan rasa gurih dan asin dalam setiap potongan makanan ini.

Selain itu, air ketheg juga mengubah warna bungkus ketupat dari bahan dasar daun gebang ini menjadi agak kuning keemasan dan mengkilat, sehingga terlihat sangat khas dan berbeda dengan ketupat pada umumnya.

Sementara, keberadaan sumur minyak tua yang menjadi sumber air utama dalam mengolah kupat ketheg kini tinggal sedikit, karena dalam sepuluh tahun terakhir sumur yang merupakan peninggalan Belanda itu hanya berada di Sekarkurung, Kecamatan Kebomas, serta di Kelurahan Ngargosari.

Namun, seiring perjalanan waktu, sumur itu kini telah ditutup oleh pemerintah setempat, sehingga warga sekitar mengambil air ketheg di wilayah Gunung Anyar.

Nuriana salah satu warga Kecamatan Kebomas menjelaskan proses membuat ketupat ketheg sama seperti membuat ketupat pada umumnya, yakni perlu disiapkan anyaman berbentuk ketupat, kemudian direndam di dalam air sumur ketheg.

Namun demikian, isi dari kupat ketheg bukan berasal dari beras biasa, melainkan beras ketan yang dicuci menggunakan sumur ketheg hingga beberapa kali.

Sementara, proses pencucian menggunakan air ketheg tidak bisa langsung dilakukan, karena air yang baru diambil dari sumur minyak tua itu masih keruh sehingga perlu diendapkan selama tujuh hari, agar menjadi jernih dan terlihat bersih saat digunakan untuk memasak.

“Dari air inilah ada rasa khas makanan ini, sehingga membedakan dengan menu ketupat biasa yang disajikan dengan opor ayam. Menu ketupat ini mampu bertahan hingga lebih dari 15 hari lamanya, meski tanpa bahan pengawet kimiawi,” ucapnya seperti dilansir Antara.

Ada lagi keistimewaan kupat ini, yakni dalam proses penyajiannya selalu didampingi dengan parutan kelapa yang disiram cairan gula merah, sehingga rasa gurih kelapa dan manis gula merah selalu menyertai dalam sajian khas warga Gresik ini, mirip seperti jajanan pasar.

Aminah salah satu penjual kupat ketheg mengaku makanan ini memiliki daya tarik tersendiri, mulai dari rasa hingga cara produksinya serta memiliki rasa yang gurih dan kenyal.

Perempuan berusia 50 tahun ini mengaku banyak warga dari Gresik atau luar kota yang mencari kupat ketheg pada malam slawe, dikarenakan rasa dan bahan dasarnya dari ketan, dan tidak seperti ketupat lain yang berbahan dasar beras.

“Kupat ketheg rasa asin dan kekenyalannya pas, apalagi jika ditambah dengan parutan kelapa dan Gula Jawa,” ucapnya.

Terkait dengan pesanan, Aminah mengaku makanan ini masih sering dicari orang, namun penjualnya menurun seiring berkurangnya air ketheg yang berasal dari sumur.

Aminah mengatakan setiap hari di malam slawe, dirinya mampu memproduksi sekitar 300 biji dan dijual dengan harga kisaran Rp2.500 per biji, tergantung pula besar ketupat.

Sementara itu, tidak ada literatur sejarah secara pasti yang menyebut awal mula munculnya kuliner ini, namun kebanyakan warga Giri mengatakan kupat ketheg pada awalnya dibuat untuk merayakan Lebaran ketupat dan menjamu para tamu yang bersilaturrahmi ke rumah.

Seiring waktu dengan banyaknya pengunjung Makam Sunan Giri pada saat malam 25 Ramadhan, muncul banyak penjual kupat ketheg di sekitar makam, sehingga terbawa pada tradisi malam slawe.

“Dulunya warga membawa ketupat ke Masjid sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Ini memang sudah merupakan tradisi di Gresik, khususnya di Giri,” ucap Umi Soliha, salah satu pembuat kupat ketheg yang sudah memproduksi makanan ini selama 23 tahun.

Umi mengaku mendapat cara membuat kupat secara turun menurun, dan kini dirinya sering mengaku kualahan dalam melayani pemesan, meski dibantu dua anaknya dalam memproduksi kupat ketheg. (ant/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs