Dalam surat edaran Nomor 17/11/DKSP, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arif Firmansyah pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, mengatakan bahwa peraturan ini bisa menghasilkan sisi positif sekaligus sisi negatif. Sisi positifnya, peraturan ini akan menguntungkan Indonesia terkait dengan pembayaran gaji terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.
“Selama ini ekspatriat yang ada di Indonesia, gaji atau pembayaran mereka kan menggunakan US dollar. Nah, maka jika peraturan ini harus diterapkan, itu akan menguntungkan Indonesia, karena mengurangi arus keluarnya dollar. Pembayarannya kan harus dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah,” katanya saat diwawancarai suarasurabaya.net, Selasa (16/6/2015).
Namun peraturan ini juga dinilai ada sisi negatifnya oleh Arif Firmansyah. Menurutnya, harus ada pengecualian khusus terhadap tetap digunakannya mata uang dollar misalnya di daerah pariwisata.
“Kita bisa melihat beberapa lokasi misalkan di Bali. Di Bali itu hampir 90 persen transaksi yang digunakan disana mulai hotel, sampai restoran menggunakan dua harga, yaitu rupiah dan dollar. Manakala wisatawan asing ke Bali itu ternyata mereka mau membayar pakai dollar, ini kan menguntungkan Indonesia sebenarnya. Karena mampu menyedot atau mampu mendatangkan dollar ke dalam Indonesia,” terang dia.
Akan tetapi, masih menurut Arif, kalau peraturan ini memang harus dijalankan, hanya satu harga saja yaitu rupiah tanpa dollar, ini membuatnya khawatir Indonesia akan kekurangan suplai dolar yang bisa masuk ke dalam negeri.
“Penerapan aturan BI untuk menggunakan mata uang rupiah pada pelaku pasar dalam negeri memang harus tetap kita kritisi pula. Jangan semuanya harus menggunakan rupiah. Bilamana ada beberapa transaksi di dalam negeri yang memang itu bisa mendatangkan mata uang asing seperti daerah-daerah pariwisata, maka harapan kita daerah itu kan bisa menguatkan nilai rupiah kita,” pungkasnya. (dop/dwi)