Kasus Angeline, anak yang tewas dibunuh di Bali, merupakan bukti pelanggaran aturan pengangkatan anak. Hal ini ditegaskan Reni Marlinawati anggota Komisi X DPR RI.
Dia mengaku sedih dan terpukul atas kasus pembunuhan Angeline. ini juga merupakan bukti kegagalan bangsa dan negara dalam melindungi warganya.
“Kami sungguh terpukul dan sedih atas perisitiwa yang menimpa ananda Angeline. Peristiwa ini telah meruntuhkan moral kita sebagai bangsa. Di titik ini, kasus ini menjadi bukti kegagalan kita sebagai bangsa dan negara dalam menjalankan amanat konstitusi yakni melakukan perlindungan kepada warganya,” ujar Reni di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (12/6/2015).
Menurut Reni, hulu dari persoalan ini satu diantaranya terletak pada tidak dilaksanakannya aturan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur di Pasal 39 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Peraturan Mensos Nomor 110/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
Penegakkan aturan ini, kata Reni, tampak alpa dalam proses pengangkatan Angeline sebagai anak angkat.
Dia menegaskan, sejumlah masalah yang patut digarisbawahi dari pengangkatan anak atas nama Angeline diantaranya, pengangkatannya diduga tanpa melalui prosedur yang benar sebagaimana ketentuan peraturan per-undang-undangan.
“Saya meminta, aparat penegak hukum melakukan audit secara menyeluruh proses pengangkatan anak atas nama ananda Angeline. Aparat penegak hukum jangan segan-segan menindak kepada siapapun yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan terkait hal tersebut,” paparnya.
Reni mengungkapkan, pemerintah semestinya mengubah manajemen perlindungan anak dengan tidak lagi menggunakan manajemen “pemadam kebakaran” yakni bergerak bila ada kejadian. Upaya preventif semestinya jauh lebih diutamakan.
“Banyak aspek yang perlu diperbaiki bersama-sama. Karena faktanya, praktik kekerasan terhadap anak telah akrab bersama-sama kita. Seperti tontonan televisi yang jauh dari nilai edukasi dengan menampilkan kekerasan verbal maupun non verbal,” tandasnya.
Peristiwa ini, lanjut Reni, semestinya menjadi momentum bersama untuk melakukan revolusi mental di aspek perlindungan anak.(faz/iss/ipg)