Masih tingginya angka perdagangan manusia yang terjadi akibat penyaluran tenaga kerja ilegal ke luar negeri meresahkan para pengusaha pelaksana penempatan TKI swasta di Indonesia.
Atas permasalahan itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama dengan International Organization for Migration (IOM) bekerjasama dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.
Nofel Saleh Hilabi Ketua Satuan Tugas (Satgas) TKI Kadin mengatakan sektor swasta akan menegaskan komitmen untuk mengambil peran dan aktif dalam upaya-upaya pencegahan tersebut. Terutama dalam proses pengiriman tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri agar tidak menempuh jalur-jalur ilegal.
Nofel mengatakan, perdagangan manusia dengan jalur pengiriman tenaga kerja ilegal banyak dilakukan oleh mafia yang bisa berasal dari oknum perorangan, perusahaan, hingga oknum pemerintah.
Moratorium yang dilakukan pemerintah juga dinilai dapat memicu perdagangan manusia atau jumlah TKI ilegal semakin besar.
“Sedikitnya 5.000 orang TKI per bulan dikirim ke luar negeri secara ilegal,” ungkap Nofel di sela-sela pertemuan tahunan antara Kadin dan IOM di Menara Kadin, Kamis (11/6/2015).
Menurut dia, pihaknya sudah melakukan survey dan kajian langsung bahwa saat ini baru terdeteksi jumlah tenaga kerja yang tidak memiliki dokumen resmi (ilegal) sedikitnya mencapai 270.000 orang.
Jumlah tersebut hanya mencakup negara Arab Saudi belum termasuk Dubai, Jordania, Syiria dan wilayah lainnya.
Penyelundupan orang makin besar sejak moratorium diberlakukan. Dari seluruh pengiriman TKI legal yang terdaftar, Timur Tengah adalah tujuan tertinggi yaitu mencapai 60%-70% dari total pengiriman.
“Moratorium selain merugikan secara devisa juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi mafia untuk melakukan human trafficking (perdagangan orang),” ungkap Nofel.
Pengangguran di dalam negeri, kata Nofel, begitu tinggi sedangkan sebaliknya di luar negeri. Ini dimanfaatkan oleh para mafia melalui jalur-jalur ilegal dan perdagangan manusia.
Pihaknya merasa keberatan dengan tudingan yang sering ditujukan kepada perusahaan-perusahaan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) di Indonesia.
”Seringkali yang disalahkan PPTKIS, padahal yang melakukannya adalah oknum. Jangan dipukul rata karena PPTKIS resmi itu punya legalitas yang lengkap tidak mungkin sembarangan melakukan pengiriman ilegal,” ujarnya.
Selain itu, kata Nofel, PPTKIS sering disalahkan karena mengirim tenaga unskil (tanpa keahlian). Padahal menurutnya, PPTKIS telah mengirim sesuai permintaan pasar dan tenaga kerja yang tersedia.
“Seharusnya tugas pemerintah untuk mencetak SDM yang terampil juga terus dilakukan agar kita dapat mengirim tenaga kerja dengan skill yang lebih baik,” papar Nofel. Mengenai pengawasan, dia berharap agar ada standarisasi pengiriman yang jelas.
Selain itu, pembagian tugas yang jelas antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Kementerian Tenaga Kerja akan sangat membantu dalam mengurai benang kusut pengiriman TKI ke luar negeri.
“Standarisasi pengirimannya harus jelas sehingga kita bisa bekerja berdasarkan modul-modul yang ada yang sudah disepakati bersama, sehingga tidak tumpang tindih,” ungkap Nofel.
Di tempat yang sama Nurul Qoiriah Projek Koordinator Nasional IOM, meminta bantuan pengusaha untuk berpartisipasi dalam membina korban tindak pidana perdagangan orang.
“Tidak sedikit yang menjadi korban TPPO awalnya dikirim sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) karena masalah ekonomi, tetapi akhirnya dikirim dengan tujuan lain. Untuk memerangi TPPO adalah dengan membantu mereka memperbaiki kondisi ekonominya,” kata Nurul.
Dia mengatakan, pihaknya memiliki program pemberdayaan korban TPPO di sektor ekonomi misalnya dengan pembangunan unit susu perah, penggilingan padi, hingga budidaya pertanian, peternakan, perikanan lainnya.
Nurul juga mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan 46 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membina korban perdagangan manusia. Menurutnya, saat ini pihaknya membutuhkan SDM yang bisa melatih dan membina bisnis yang dikerjakan para korban TPPO.
Nurul mengungkapkan, data kasus yang terlapor di IOM periode Maret hingga Desember 2014 menunjukkan daerah Jawa Barat menempati urutan teratas dengan 2.151 orang korban perdagangan manusia. Disusul Jawa tengah dengan 909 orang dan Kalimantan Barat dengan 732 orang.
Namun Nurul juga mengungkapkan sejak awal tahun 2015 hingga sekarang Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati urutan teratas kasus perdagangan manusia. (faz/den/rst)