Totok Daryanto Wakil Ketua Umum PAN merasa kaget dengan ucapan Faisal Basri yang menuduh Hatta Rajasa Mantan Ketua Umum PAN sebagai biang keladi ambruknya industri bauksit nasional dewasa ini.
Sebagai pengamat, seharusnya Faisal Basri tahu bahwa larangan ekspor hasil tambang raw material itu amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral Dan Batubara.
UU ini memerintahkan kepada seluruh pelaku usaha pertambangan dalam tenggat waktu 5 tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini ekspor hasil tambang harus sudah dimurnikan dulu di Indonesia. Maka sejak Januari 2014 tidak boleh lagi ada ekspor bahan mentah termasuk bauksit.
Keputusan pemerintah ini sejalan dengan keputusan Komisi VII dan pada waktu itu hampir semua pengamat berpendapat sama.
Larangan ekspor bahan mentah berlaku untuk semua jenis hasil tambang, jadi tidak hanya untuk bauksit.
“Menurut Faisal, pelarangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan. Tuduhan ini fitnah dan Faisal bisa dikenakan delik hukum pencemaran nama baik, apalagi mengkaitkannya dengan kepentingan Pilpres,” ujar Totok yang juga anggota komisi VII DPR RI, Senin (25/5/2015).
Dia menjelaskan, DPR dan pemerintah mempunyai komitmen yang sama mendorong pembangunan smelter di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang kita dan mendorong tumbuhnya industri hilir di Indonesia. Kebijakan ini tetap berlaku hingga sekarang sehingga ijin ekspor bahan tambang selalu dikaitkan dengan keseriusan para pengusaha pertambangan untuk membangun smelter.
Sebelumnya, Faisal Basri Pengamat ekonomi menyebut Hatta Rajasa mantan Menteri Koordinator Perekonomian, sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Bahkan, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu.
“Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas,” ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia,” di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu menjelaskan, pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar. Kata Faisal, berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait.
Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014.
Faisal menilai, aturan itu membuat industri bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.
Menurut Faisal, pelarangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan.
Akibat pelarangan ekspor bauksit itu, sebanyak pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, kata dia, harga alumina Rusal di dunia internasional melonjak.(faz/iss/ipg)