Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang memiliki pola pertanian yang lebih ekstrem dibanding sistem Subak di Bali. Dimana kontur lahan berbukit-bukit di lereng Gunung Semeru ini, ditanami secara vertikal.
Para petani dari Suku Tengger ini hanya membagi-bagi petakan lahan dengan cekungan yang digali sebagai penahan air ketika hujan turun saja. Tidak berundak seperti tangga sesuai sistem Subak di Bali.
Sehingga, pola pertanian yang dilakukan petani Suku Tengger Desa Argosari pun juga lebih ektrem. Mereka seolah bertaruh nyawa saat bercocok tanam sayuran di lahan lereng perbukitan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat tersebut.
Tidak ada pengaman khusus yang mereka gunakan, padahal petani Suku Tengger ini rawan terpeleset lalu terjungkal ke jurang di bawah lereng perbukitan tersebut. Ini karena para petani Suku Tengger ini, baik perempuan maupun laki-laki hanya berpijak pada cekungan galian tanah yang membatasi antara petakan lahan diatas dengan dibawahnya.
“Mau bagaimana lagi, lha wong sudah biasa. Kami bertani di lereng perbukitan ini, sudah sejak turun-temurun. Jadi sudah biasa, dan Alhamdulillah tidak pernah ada yang terjatuh atau celaka. Meski kalau jatuh, nyawa pasti jadi taruhannya juga. Memang kalau dilihat orang luar (Desa, red), pasti mereka khawatir karena takut terjatuh,” kata Subakri, petani Suku Tengger Argosari yang juga menjabat sebagai Modin Desa ini ketika ditemui Sentral FM, Sabtu (9/5/2015).
Masih menurutnya, bercocok-tanam di lahan dengan kontur berbukit-bukit ini juga dinilainya tidak akan menyebabkan longsor atau erosi tanah. Sebab, lahan di perbukitan ini sudah dibuat berpetak-petak dengan ketinggian tidak sama, sebagai penahan antara petak satu dengan petak lainnya.
“Sehingga tanah di petak lahan yang diatas, tidak mungkin melorot ke petakan lahan yang ada di bawahnya. Sama seperti pola pertanian sistem Subak di Bali, meski kalau di sini (Argosari, red) petakan lahannya lebih vertikal,” terangnya.
Sementara itu, Sandoyo, petani Suku Tengger Argosari lainnya juga menyampaikan, jika pola bercocok-tanam di Desanya dilakukan sepanjang tahun. Masyarakat bercocok tanam khusus sayuran yang memang ada di ketinggian lebih dari 2.000 meter diatas permukaan laut (mdpl).
“Di ketinggian ini, kontur tanah kan jadi lembab, sehingga bercocok-tanam dilakukan sepanjang tahun. Jenis sayuran yang banyak dikembangkan di sini, mulai dari Kentang, Bawang Pre, Kol, Kubis, Ubi hingga Cabe Tomat. Kentangnya di sini juga besar-besar, jauh lebih besar daripada di Desa bawah. Demikian pula cabe tomat, cabe berukuran sepeerti tomat dan super pedas yang hanya hidup diatas ketinggian 2.000 mdpl,” urainya. (her/dop/fik)