![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2024/06/Karopenmas-Trunoyudo-170x110.webp)
Jabal Nur, itulah nama dari sebuah Masjid yang ada di Dusun Puncak, Desa Argosari, Lumajang. Berada di lereng Bromo, bangunan masjid tampak sederhana. Di depannya, terdapat jalan makadam berlumpur yang merupakan akses perekonomian satu-satunya bagi masyarakat desa setempat. Meski sederhana, namun Masjid yang didirikan Muslim Tengger ini, diperkirakan adalah masjid yang berada di titik tertinggi di Indonesia karena berada di ketinggian 2.200 di atas permukaan laut (mdpl).
Saat mengunjungi masjid ini, siapapun awalnya akan menyangka jika tempat ibadah ini terlihat miring. Terutama saat dilihat dari jalanan di depannya. Namun setelah diperhatikan betul, bukan masjid yang miring, namun jalanan yang memang menanjak membuat bangunan tempat ibadah itu seolah tidak berdiri simetris.
Saat memasuki masjid, seolah kita akan berada di atas awan karena Masjid akan selalu dikelilingi kabut dan berada di atas dunia karena posisinya benar-benar berada di lereng bukit dengan ketinggian ribuan meter.
Sandoyo, warga Dusun Puncak kepada Sentral FM, Sabtu (9/5/2015) mengatakan bahwa Masjid Jabal Nur ini belum lama dibangun. “Masjid ini baru dibangun dua tahun lalu, atas inisiatif warga yang dibantu sebuah lembaga keagamaan. Bahkan, masjid ini secara khusus diresmikan Almarhum Sjahrazad Masdar, Bupati Lumajang,” kata dia.
Bagi warga, keberadaan masjid ini sangat penting karena merupakan satu-satunya di kawasan itu. Jika Sholat Jumat, maka jamaahnya akan berasal dari kawasan yang berjarak puluhan kilometer dengan medan jalan yang cukup ekstrim, berlumpur serta licin.
Hingga kini, berbagai kegiatan keagamaan warga Muslim Dusun Puncak dilakukan di Masjid Jabal Nur ini. Baik untuk jamaah sholat rutin sampai hari raya, baik Sholat Idul Adha maupun Idul Fitri. “Apalagi, kini Muslim di Dusun Puncak ini sudah mulai banyak,” ujarnya.
Sandoyo menceritakan, kondisi itu berbeda dengan sepuluh tahun lalu, dimana warga Muslim di Dusun Puncak hanya segelintir saja. “Kalau tidak salah hanya beberapa KK saja. Tapi lambat-laun, warga kemudian banyak yang menjadi muallaf hingga jumlahnya mencapai 50 KK. Sehingga dibutuhkan tempat ibadah di sini, dan inisiatif itu direspon sebuah lembaga keagamaan serta pemerintah sehingga terwujud bangunan Masjid Jabal Nur yang sekarang ini,” kata dia.
Meski hidup berdampingan dengan warga Hindu, namun warga dusun yang akrab disebut dengan “Negeri Diatas Awan” ini, tetap menjaga toleransi dengan baik. Hal itu terbukti, tak jauh dari Masjid Jabal Nur, juga berdiri sebuah tempat peribadatan umat Hindu bagi warga di dusun tersebut.
“Memang tak jauh dari Masjid Jabal Nur, ada tempat persembahyangan Umat Hindu. Tapi itu tidak menjadi masalah, karena warga Dusun Puncak toleransinya sangat baik. Bahkan, saking harmonisnya hubungan masyarakat di sini, saat Hari Raya tiba, warga Hindu juga silaturahmi ke rumah warga Muslim. Demikian pula sebaliknya. Ya saling menjaga lah,” kata Sandoyo.
Sementara itu, Atok Hasan Sanusi, pengurus MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Lumajang mengatakan, keberadaan Masjid Jabal Nur ini terwujud setelah Mislim di Dusun Puncak berkembang menjadi sedemikian banyak. Ia mengakui, sebelumnya hanya segelintir saja warga beragama Islam di Dusun itu.
“MUI bersama pengurus NU dan lembaga lainnya secara rutin memberikan pembinaan agar mereka selalu menjaga toleransi dan hidup rukun berdampingan dengan pemeluk agama lain,” kata Atok Hasan Sanusi. (her/fik)
Teks Foto :
-Masjid Jabal Nur di Dusun Puncak, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang yang merupakan masjid tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 2.200 meter diatas permukaan laut (mdpl).
Foto : Sentral FM.