Stroke menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Demikian halnya di Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia. Namun, kurang lengkapnya alat penunjang medis di rumah sakit milik pemerintah menyebabkan pasien stroke tak bisa segera ditangani.
Dr Asra Al Fauzi-Ahli Bedah Saraf dari Surabaya Neuroscience Institute (SNei) menyebutkan, ada beberapa hal yang memungkinkan tidak tertanganinya pasien stroke. Pertama, karena masyarakat tidak tahu harus ke rumah sakit mana, kedua karena SDM atau peralatan yang kurang memadai, dan ketiga kurangnya perhatian dari pemerintah.
“Surabaya ini SDM-nya sudah siap, tapi peralatannya tidak ada,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Selasa (28/4/2015).
Penyakit stroke perlu segera ditangani. Waktu terbaik untuk menangani pasien stroke adalah empat jam. Bila sudah lebih dari empat jam, kemungkinan dampak yang akan dialami oleh penderita bisa seumur hidup.
Metode bedah saraf yang digunakan untuk menangani penderita stroke adalah kateterisasi otak atau pemindaian saraf melalui selang kateter. Metode ini membutuhkan Cath Lab atau laboratorium kateterisasi, yang diperkirakan seharga Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.
“Tidak mahal tapi juga tidak murah,” ujar Asra. Namun, peralatan ini menurutnya wajib ada di beberapa rumah sakit pemerintah yang menaungi beberapa wilayah sehingga seluruh masyarakat dapat menjangkaunya. Hanya saja saat ini yang sudah memiliki fasilitas lengkap dan memadai untuk metode tersebut adalah RS Dr Soetomo dan beberapa rumah sakit swasta di Surabaya.
“Karena semua lini terkait. Ambulans harus siap, rumah sakit harus siap, dokter dan perawat siap, instalasi gawat darurat siap. Dan harus ada spesifikasi, mana rumah sakit rujukan yang mampu menangani pasien stroke,” ujarnya. Sebab yang terjadi selama ini, pasien stroke tidak segera tertangani karena harus dirujuk dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya hingga lebih dari empat jam.
Sekadar diketahui, data Departemen Kesehatan 2014 lalu menyebutkan bahwa stroke merupakan penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia. Dr Asra menyebutnya sebagai silent epidemi (epidemi terselubung). (den/ipg)