Emanuel Sujatmoko, pakar hukum Universitas Airlangga Surabaya menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) cenderung dikomersialisasi dan diprivatisasi oleh perusahaan air swasta.
“Undang-undang ini adalah salah satu bentuk liberalisasi sumber daya air di Indonesia. Ini bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujarnya dalam acara sosialisasi implikasi UU SDA di Gedung Tirta Graha PDAM Surabaya, Jumat (13/3/2015).
Menurutnya, undang-undang ini secara tidak langsung memisahkan hubungan antara negara dengan rakyatnya sendiri. Emanuel mengatakan, kebutuhan masyarakat akan air adalah salah satu bentuk hak asasi manusia yang wajib dilindungi dan disediakan oleh negara.
“Air harus diatur oleh negara, bukan sebagai pemilik, untuk digunakan sebaik-baiknya kepada kepentingan rakyat. Secara filosofis, undang-undang ini tidak cocok sama sekali dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945,” ungkapnya.
Hal ini juga disetujui oleh Ashari Mardiono Direktur Utama PDAM Surabaya, yang menginginkan UUD tahun 1945 kembali menjadi acuan untuk mengatur sumber daya air di Indonesia.
“Kita ingin kembali ke UUD 1945, sehingga air benar-benar diatur oleh negara. Tidak ada kepentingan lain di dalamnya selain itu,” ujarnya.
Sekadar diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruh isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. MK menilai bahwa UU SDA tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan pembatalan tersebut, peraturan hukum pengelolaan air kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. (dop/iss/ipg)
Teks Foto:
1. Emanuel Sujatmoko Pakar Hukum Unair
2. Ashari Mardiono Direktur Utama PDAM Surabaya
Foto: Dodi suarasurabaya.net