Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru. Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku,,,,
Penggalan lagu di atas pasti tidak asing ditelinga kita. Dengan menggunakan nada dasar C=do, Hymne Guru berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini, akan segera akrab di telinga serta menyayat hati para pendengarnya. Apalagi, jika dalam menyanyikan lagunya, kita menggunakan patokan baku lagu ini, yaitu empat ketukan ditiap barisnya.
Namun, Hymne Guru yang sangat popular, dan merdu ini, ternyata tidak semerdu nasib penciptanya. Sartono, pria kelahiran Madiun 29 Mei 1936 itu, hanya bisa menghabiskan sisa masa tuanya dengan kenangan ketika lagu ciptaannya menjuarai sayembara Mencipta Hymne Guru yang diselenggarakan Dinas Pedidikan Dan Kebudayaan pada tahun 1980.
Tidak ada yang istimewa di rumah papan di Jl Halmahera No 98 kelurahan Kartoharjo Madiun itu. Kebesaran nama Pencipta Hymne Guru ini, hanya tergambar dari sebuah electone organ yang itupun pemberian Dinas P dan K, dan dipajang di pojok ruang tamunya.
Di dalam ruangan berukuran tiga meter persegi itu, tidak ada yang mewah kecuali sepasang meja dan kursi. Dinding kayu rumahnya pun hanya dihiasi empat buah piagam penghargaan serta sebuah Kalender dari Diknas Kota Madiun.
Sartono sendiri mengikuti lomba mencipta lagu ketika tanpa sengaja membaca pengumuman sayembara dari Koran Berita Buana. Waktu itu, ketika Sartono pulang dari mengajar Musik Kulintang di Perum Perhutani Nganjuk, di dalam Bus, teman sebangkunya menyodorkan Koran yang berisi lomba mencipta Hymne Guru.
Hymne yang kemudian diberi judul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini, menurutnya dibuat hanya dalam tempo dua hari.
Pada mulanya hymne guru tersebut dibuat dengan 36 Bar (Ruas Birama), namun untuk efisiensi dan keluesan lagu, pihak juri memutuskan untuk membuang 8 Bar, hingga saat ini tinggal 28 Bar.
Lomba yang diadakan tanggal 1 Agustus 1980 tersebut, menurut pria lulusan SMA ADJAD (Adjudan Djenderal Angkatan Darat) bagian C tahun 1969 ini, tidak menghasilkan juara 1. Namun hanya sampai pada juara harapan 1, 2, dan 3. “Waktu itu tidak ada yang memenuhi kriteria juara satu, paling bagus juara harapan 1. Karena lagu saya yang jadi harapan 1, maka lagu ini didaulat untuk menjadi Hymne,” ujar Sartono, ketika suarasurabaya.net sempat mengunjungi rumahnya beberapa tahun lalu.
Hasil dari lomba, Sartono berhak atas hadiah uang Rp750 ribu dan jalan-jalan ke Jepang bersama para guru teladan selama 1 bulan. Saat itu, uang tersebut lantas dibelikan sepeda motor seharga Rp600 ribu.
Dan kini, setelah usianya sudah tidak dilirik oleh lembaga pendidikan manapun, mantan guru honorer di SLTPK yayasan ST Bernadus Madiun ini, hanya bisa menghabiskan masa tuanya di rumah Papan di sebelah barat Stadion Wilis Madiun.
Pria berwajah lebih muda dari umurnya ini mengisahkan, dimasa mudanya, dia beberapa kali mendaftar jadi PNS, namun hingga masa tuanya, niat menjadi PNS tidak kunjung terpenuhi.
Setelah menjuarai mencipta Hymne Guru, Sartono sebenarnya banyak mendapat tawaran untuk menjadi PNS, namun semua tawaran sampai usia tuanya tidak ada yang terealisir.
Dan kini usia Sartono menua dan tidak lagi menjadi guru honorer, praktis kehidupannya hanya ditopang royalty dari yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), yang tiap tahunnya memberinya Rp 300 ribu. Kini dimasa tuanya, kehidupan Sartono praktis hanya dihabiskan bersama istri dan satu anak angkatnya.
Sartono memang tidak pernah menuntut untuk bisa jadi PNS, baginya hidup harus dijalani apa adanya. Sartono hanya berpesan supaya pemerintah memberikan perlakukan yang sama antara guru negeri dan guru tidak tetap. (fik)