Sabtu, 23 November 2024

Selamat Bekerja Pemerintahan Baru, Jokowi-JK

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Ilustrasi

Per 20 Oktober 2014, Negara Kesatuan Republik Indonesia secara resmi dipimpin Joko Widodo sebagai presiden ke-7 setelah Soekarno (1945–1967), Soeharto (1967–1998), B.J. Habibie (1998–1999), Abdurrahman Wahid (1999–2001), Megawati Soekarnoputri (2001–2004), dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2010).

Bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, duet itu merupakan hasil dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli lalu, dan bakal bekerja memimpin lebih dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia untuk periode selama lima tahun mendatang.

Satu hal yang amat menarik adalah proses pergantian kepemimpinan dari Yudhoyono ke Joko Widodo adalah relatif dalam kondisi yang cukup kondusif dan lancar, tidak seperti pada proses pergantian kepemimpinan sebelumnya.

Sejarah mencatat bahwa pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto dipicu oleh pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang berujung pada penolakan pertanggungjawaban Soekarno pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1967. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto memberangus Orde Lama, mengasingkan Soekarno dari kegiatan sosial kemasyarakatan, dan membatasi pengaruh Soekarno.

Suksesi kepemimpinan dari Soeharto ke Bacharuddin Jusuf Habibie juga dipicu oleh Gerakan Reformasi yang menuntut pengunduran diri Soeharto yang membuahkan hasil dengan pernyataan dari Soeharto untuk berhenti dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Pergantian kepemimpinan dari B.J. Habibie ke Abdurrahman Wahid juga dipicu oleh hasil referendum atas Timor Timur yang menolak bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR 1999.

Begitu pula, alih kekuasaan eksekutif dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati juga dipicu oleh kasus Buloggate yang berujung pada pemakzulan terhadap Abdurrahman Wahid oleh MPR.

Pergantian kepemimpinan dari Megawati kepada Yudhoyono meskipun dilakukan melalui Pemilu Presiden secara langsung yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004 dan berlangsung demokratis, berada pada kondisi dari ketegangan komunikasi politik menahun antara Yudhoyono dan Megawati sehingga membuat Megawati tidak pernah hadir pada saat pelantikan Yudhoyono pada tanggal 20 Oktober 2004 dan pada tanggal 20 Oktober 2009.

Pemerintahan baru saat ini menjadi momentum bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk membuktikan janji-janji kampanye dan melakukan perbaikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apalagi, seusai Joko Widodo menemui pesaingnya dalam Pilpres 2014, Prabowo Subianto, di kediaman orang tua Prabowo, Jalan Kertanegara IV Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (17/10), kedua negarawan itu menyatakan saling mendukung untuk keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta menjaga demokrasi politik dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.

Nawacita (sembilan program prioritas), Revolusi Mental, pelaksanaan program dari “warisan” yang disampaikan Soekarno soal Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam sosial budaya), dan berbagai program prorakyat, serta kebiasaan “blusukan” dari Joko Widodo tentu saja menjadi beragam agenda yang ditunggu implementasinya.

Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjanjikan nawacita atau sembilan program yang menjadi prioritas jalan perubahan menuju Indonesia baru atau Indonesia hebat yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Antara melansir, kesembilan program itu adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, dan pembangunan pertahanan negara trimatra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Selain itu, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Eksekutif-Legislatif

Salah satu tantangan yang ada di depan mata adalah bagaimana membangun hubungan yang baik dan saling bersinergi antara kekuatan eksekutif di pemerintahan dan kekuatan legislatif di parlemen.

Tantangan ini dapat dimaklumi lantaran kekuatan di parlemen menunjukkan dominasi dari Koalisi Merah Putih (KMP) atas perolehan kursi di parlemen dibandingkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang merepresentasikan kepentingan pemerintahan di parlemen.

Dalam perkembangan terakhir, KMP terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS, sedangkan KIH terdiri atas PDI Perjuangan, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura.

Dari total 560 kursi di DPR RI, PDI Perjuangan meraih 109 kursi, Partai Golkar 91 kursi, Partai Gerindra 73 kursi, Partai Demokrat 61 kursi, PAN 49 kursi, PKB 47 kursi, PKS 40 kursi, PPP 39 kursi, Partai NasDem 35 kursi, dan Partai Hanura 16 kursi.

Dari komposisi itu, terlihat KMP menguasai 314 dari 560 (56,07 persen) kursi DPR RI, sedangkan KIH meraih 246 dari 560 (43,93 persen) kursi DPR RI. Meskipun perkembangan terakhir PPP menyeberang ke KIH setelah kadernya tak dicalonkan dalam Wakil Ketua MPR, komposisi di DPR masih didominasi oleh KMP.

Pimpinan DPR terdiri atas Ketua DPR Setya Novanto (Partai Golkar) dan empat wakil ketua terdiri atas Fadli Zon (Partai Gerindra), Agus Hermanto (Partai Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahri Hamzah (PKS), sedangkan pimpinan MPR terdiri atas Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN), dan empat wakil ketua, yakni Oesman Sapta (dari DPD), E.E. Mangindaan (Partai Demokrat), Mahyudin (dari Golkar), dan Hidayat Nurwahid (PKS).

Pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan komposisi di parlemen secara politik sangat menguntungkan KMP, jika koalisi itu solid, semua proses politik di parlemen dapat mereka kendalikan. “Fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi akan dapat mereka kuasai. Bahkan, proses politik di MPR pun tidak lepas dari usaha mewujudkan kepentingan politik Koalisi Merah Putih yang dapat melemahkan pemerintahan Jokowi-JK,” katanya.

Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid yang juga Wakil Ketua MPR RI mengatakan bahwa terpilihnya pimpinan DPR dari KMP harus ditanggapi bukan sebagai upaya untuk menjegal pemerintah, melainkan sebagai penguatan pengawasan terhadap pemerintah.

“Ini adalah politik untuk melakukan fungsi check and balance terhadap eksekutif,” kata Hidayat Nurwahid yang pernah menjadi Ketua MPR RI periode 2004–2009.

Menurut dia, pemerintahan yang kuat memerlukan sistem check and balances yang kuat juga dari DPR sebagai kelompok penyeimbang.

“Semoga program Pak Jokowi yang kuat revolusi mental itu bisa dilaksanakan secara efektif. Sebab, kalau tidak ada yang mengawasi yang kuat, sangat mungkin yang terjadi adalah seperti dulu, yaitu praktik ‘asal bapak senang’. Kalau seperti itu tidak terjadi revolusi mental,” ujar dia.

Ketua DPP Partai Demokrat Benny K. Harman memastikan partainya penyeimbang bagi pemerintahan Joko Widodo. “Apabila program pemerintahan Jokowi memang ada manfaatnya untuk masyarakat dan membangun demokrasi buat bangsa ini menjadi lebih baik, Demokrat pasti akan mendukung. Apabila program dari Jokowi ada yang tidak sesuai, kami akan mengkritisi sebagai bagian dari upaya untuk membangun terwujudnya pemerintahan yang akuntabel,” katanya.

Terkait dengan penguasaan parlemen oleh KMP, Benny mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo harus punya kemampuan untuk membangun komunikasi politik dengan KMP. Pemerintahan Joko Widodo dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik dan tidak perlu ragu dan malu untuk melanjutkan program dari SBY apabila memang positif untuk rakyat. “Kalau misalnya ada yang kurang baik, bisa diperbaiki. Akan tetapi, kalau misalnya sudah baik, ya, bisa dilanjutkan kembali,” katanya.

Joko Widodo pada hari Selasa (14/10/2014) menjalin komunikasi langsung dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie pada “ngopi bareng” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Joko Widodo seusai pertemuan tertutup itu mengatakan bahwa pertemuan untuk membuktikan bahwa tidak ada masalah atas perbedaan koalisi. Adanya perbedaan dalam politik itu biasa dan merupakan perwujudan dari demokrasi yang wajar.

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengapresiasi pertemuan Joko Widodo dan Aburizal Bakrie. “Itu momentum untuk bersatu,” kata Zulkifli.

Silaturahmi itu akan menambah suasana sejuk bangsa. Suasana sejuk itu juga membuat keyakinan para investor dalam menanamkan sahamnya di Indonesia.

Alhasil publik bakal melihat dalam waktu dekat ini, misalnya, bagaimana DPR yang baru dilantik dan diambil sumpah dan janjinya pada tanggal 1 Oktober lalu itu, membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2014 yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apakah menerima atau menolak perpu tersebut.

Dewan Perwakilan Rakyat periode sebelumnya telah menyetujui RUU Pilkada menjadi UU dan Kepala Negara telah mengesahkan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang memuat mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD setempat, tidak lagi secara langsung oleh rakyat. Lalu, terbit perpu yang menggantikan UU itu. Perpu mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Koalisi Indonesia Hebat menyetujui pilkada secara langsung.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens mengatakan bahwsa media massa bakal menjadi kekuatan Joko Widodo-Jusuf Kalla, selain ruang publik yang terbuka. Apabila Jokowi ditekan parlemen, publik bisa menilai langsung dan dapat menekan balik parlemen, kata Boni dalam diskusi publik “Konsolidasi Nasional dalam Rangka Mengawal Trisakti dan Nawacita Menuju Indonesia yang Adil, Sejahtera, dan Beradab Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945” di Jakarta, Selasa (14/10/2014).

Kekuatan itu bersanding dengan kekuatan figur Joko Widodo yang fleksibel, populis, dan mendapatkan dukungan nyata dari rakyat, serta adanya partai pendukung yang ideologis dan solid, seperti PDI Perjuangan. Meski demikian, Joko Widodo bersama kubunya juga memiliki kelemahan, seperti euforia kemenangan yang tidak dijaga dengan baik. “Ada perilaku ‘over confidence’ sehingga lupa lobi-lobi politik di parlemen,” katanya.

Selain itu, adanya jurang antara realitas politik yang tidak ideal dengan visi dan misi Jokowi yang ideal sehingga menciptakan kerumitan politik. Contohnya, rencana kenaikan harga BBM, yang bisa menjadi komoditas politik partai penyeimbang.

Joko Widodo kepada Prabowo secara terbuka pun mempersilakan mengoreksi pemerintahannya bila ada kebijakan yang tidak prorakyat. Awal yang baik. Selamat bekerja pemerintahan baru. (ant/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs