Nama “Ebola” belumlah ada ketika sebuah virus yang mematikan dan misterius mulai merebak dan menghancurkan Afrika Barat 38 tahun silam.
Penyakit itu pertama kali terjadi di Zaire, yang sekarang bernama Republik Demokratik Kongo.
Seperti mengutip Antara, tim peneliti internasional yang ditugaskan untuk menyelidiki wabah pada tahun 1976 itu terkejut dengan dampak penyakit yang misterius ini.
Adalah Dr. Peter Piot, peneliti pertama yang meneliti virus itu, mengingat dalam buku memoarnya berjudul “No Time To Lose: A Life in Pursuit of Deadly Viruses.” (W. W. Norton & Company, 2012).
Para peneliti telah melihat sampel darah yang dikirimkan dari Afrika di bawah mikroskop di laboratorium Belgia, dan virus itu terlihat seperti cacing atau tali panjang, sangat berbeda dari virus yang telah banyak diketahui peneliti.
Dan ketika tim sampai di tanah Zaire, mereka melihat bagaimana virus itu menyebar dengan cepat dan bagaimana korban terbunuh dengan cepat. Mereka tahu bahwa mereka harus menemukan pola bagaimana virus misterius baru ini ditularkan, apa yang terjadi dalam tubuh, dan bagaimana bisa menghentikannya.
Mereka juga harus memberi nama untuk virus baru ini.
Cerita mengenai bagaimana Ebola mendapatkan namanya tergolong unik, tulis Piot dalam bukunya.
Pada suatu malam, tim peneliti mendiskusikan virus ‘Kentucky bourbon’ yang baru mereka namai.
Lalu virus di Zaire ini ditemukan di pedesaan yang bernama Yambuku. Salah satu anggota tim peneliti bernama Dr. Pierre Sureau, dari Institut Pasteur di Prancis berkata “Nama desa itu bisa kita jadikan nama virus.”
Tetapi menamakan virus itu dengan Yambuku akan menimbulkan stigma yang buruk tentang desa itu, kata peneliti lain, Dr. Joel Breman, dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC).
Ini pernah terjadi sebelumnya, contohnya, virus Lassa, yang terjadi di kota Lassa di Nigeria pada 1969.
Lalu Karl Johnson, yang juga dari CDC dan pemimpin tim peneliti menyarankan agar penamaan virus itu dengan nama sungai, agar mengecilkan penekanan stigma terhadap tempat tertentu.
Salah satu pilihan yang jelas, yakni Sungai Kongo–sungai terdalam di dunia dan mengalir melalui negara dan hutan hujan tropis Kongo.
Tetapi masalahnya, sudah ada virus lain dengan nama serupa. Virus Crimean-Congo adalah untuk salah satu jenis penyebab demam berdarah.
Kemudian para peneliti melihat peta kecil, dan menempelkannya pada dinding, mereka mencari sungai lain di dekat Yambuku. Pada peta, ternyata sungai terdekat dari Yambuku adalah Ebola, yang berarti “Black River” di bahasa Lingala setempat.
“Ini tampaknya cocok,” tulis Piot.
Namun ternyata peta itu tidak akurat, dan Sungai Ebola bukanlah sungai terdekat dari Yambubuku, lanjut Piot.
“Tetapi dalam kondisi yang terlalu lelah, kami pun putuskan untuk menyebut virus itu: Ebola.”
Dan kemudian Ebola bergabung dengan daftar nama virus yang diberi berdasarkan nama sungai. Sebagian dari virus dengan nama sungai adalah virus nyamuk Ross–yang diambil dari nama sebuah sungai di utara negara bagian Queensland, Australia.
Ada juga virus Machupo, yang menyebabkan demam berdarah di Bolivia, atau “black typus” dan dinamai nama Sungai Bolivia.
Begitu juga dengan virus lain yang dinamai sesuai tempat ditemukannya, termasuk virus West Nile yang ditemukan 1937, virus Coxsackie ditemukan 1948 (Coxsackie adalah sebuah kota di New York), Marburg ditemukan 1967 (Marburg adalah kota di Jerman), Hendra diidentifikasi pada 1994 (Henda adalah daerah pinggir Kota Brisbane, Australia).
Tradisi itu berlanjut hingga sekarang. Tahun lalu, setelah berbulan-bulan disebut dengan beberapa nama, akhirnya penemuan virus terbaru coronavirus secara resmi dinamakan–Middle East Sindrom Pernapasan coronavirus, atau MERS-CoV, demikian livescience.com. (ant/dwi)