Sabtu, 23 November 2024

Melawan Stigma Penyakit Kusta

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Para penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Kediri. Foto : Taufik suarasurabaya.net

Umurnya menginjak 68 tahun. Namun cara bertuturnya masih seperti usia 40-an, berapi-api dan fokus, apalagi jika menyinggung penyakit yang kini menggerogoti tubuhnya.

Namanya Paidi Poro, tapi dia biasa dipanggil Paidi. Lahir di Kediri pada April 1946, Paidi pernah dikucilkan keluarganya sendiri.

Penyakit Kusta yang dia derita sejak tahun 1980, menjadikan Paidi terbuang. Gubuk berukuran tiga meter persegi menjadi temannya selama puluhan tahun. Gubuk itu, sengaja didirikan anaknya di belakang rumah sebagai lokasi “pengucilan” bagi Paidi.

“Saya pulang dari Gunung Kelud cari ketela, lengan saya lantas berbintik putih. Ndak tahu apakah karena kecapean atau kena ulat pohon,” kenang Paidi mengisahkan awal penyakit yang menggerogotinya.

Bintik itu semula tak dihiraukan, tapi lima tahun kemudian beberapa bagian jari tangan mati rasa, kaku, terluka dan akhirnya putus dengan sendirinya.

Anak dan istri bahkan tetangga, menganggap Paidi kena kutukan. Paidi lantas dibawa ke dukun, bukannya menyembuhkan, sang dukun malah minta Paidi yang konon kena “kutukan” penunggu Kelud ini harus dikucilkan.

Yang membuatnya sedih, bukan lantaran dia terkucil, tapi ketika anak keduanya menikah, para tetangga enggan datang, mereka takut pada makanan dari rumah orang dengan penyakit kusta.

Tapi itu dulu, kini Paidi sudah nyaman tinggal bersama puluhan sesama penderita penyakit “kutukan” yang sebenarnya adalah penyakit kusta itu. Adalah seorang kerabat yang pada tahun 1988 rela mengantarkannya ke Rumah Sakit (RS) Kusta di Kediri.

Paidi sendiri pada awal tahun 1990, sebenarnya sudah divonis bebas kusta. RS Kusta Kediri sudah mengantarkannya pulang. Namun, beberapa bagian jari yang hilang menjadikannya tetap tak bisa diterima keluarga.

Kini, penyakit itu kambuh lagi. Kali ini, cukup parah, tak hanya tangan, tapi juga jari kaki yang diserang. Paidi kembali menyerah, dan RS Kusta Kediri menjadi jujukannya.

Ketika ditemui suarasurabaya.net di RS Kusta Kediri, Sabtu (13/9/2014), Paidi sudah dirawat tiga pekan. Kondisi tubuhnya mulai membaik. Dia tetap merasa tak menderita apapun, meski beberapa bagian tubunya memang mengalami mati rasa.

Kisah pilu tak hanya menimpa Paidi, stigma penyakit “kutukan” juga dirasakan puluhan penderita yang kini juga dirawat di RS Kusta Kediri. Adalah Muhammad Eka Mustofa, 21 tahun, pria asal Prambon, Nganjuk ini juga mengalami derita yang sama. Hilangnya dua jari tangan membuatnya sempat dikucilkan. Beruntung, keluarganya tanggap dan mengantarkannya hingga gerbang Rumah Sakit Kusta meski kemudian meninggalkannya begitu saja.

Stigma “kutukan” penyakit kusta, diakui Nur Siti Maimunah, Kepala RS Kusta Kediri. “Tak hanya kutukan, malah ada yang menilai ini adalah turun temurun penyakit dari leluhur,” kata dia.

Atas alasan itu, RS Kusta Kediri kerap menurunkan petugas untuk mengevakuasi penderita kusta dari lingkungan sosialnya ke rumah sakit. Sebab, seringkali warga sekitar bahkan keluarganya takut mendekat apalagi merawat.

Bahkan, beberapa penderita kusta juga seringkali tak mengaku kepada tetangga jika dia sedang dirawat di RS Kusta. “Ada yang beralasan kerja ke luar kota, padahal sedang dirawat di sini,” ujar Maimunah.

Derita pasien kusta bahkan berlanjut saat mereka dinyatakan sembuh. Lingkungan sosial masih kerap belum menerimanya 100 persen, karena itu mantan penderita kusta kebanyakan masih terkucilkan, sehingga di beberapa tempat seperti di Sumberglagah, Pacet, Mojokerto terdapat sebuah perkampungan yang sengaja didirikan bagi para penderita dan mantan penderita kusta.

Karenanya, selain penyembuhan, psikologis para pasien kusta juga harus dibimbing. Di RS Kusta, aneka keterampilan juga diajarkan. Sayang hasil dari kerajinan tangan penderita kusta ternyata juga masih sulit diterima masyarakat.

Bahkan RS Kusta-pun juga mengalami stigma negatif dari masyarakat. Maimunah mencontohkan, beberapa poli umum yang dimiliki RS itu bahkan sepi pasien. Poli mata yang dimiliki RS Kusta Kediri misalnya, sangat sepi karena umumnya masyarakat masih takut masuk RS Kusta. Padahal RS Kusta sebenarnya telah mendapatkan sertifikat ISO 9001 sejak tahun 2008 silam.

Beruntung, Soekarwo, Gubernur Jawa Timur pada 15 September silam telah mengeluarkan SK untuk mengubah nama dari RS Kusta menjadi RS Infeksi. “Selain mengacu regulasi pemerintah, ini juga untuk mengubah image yang tidak bagus terhadap rumah sakit tersebut,” kata Pakde Karwo, julukan Soekarwo.

Alat sederhana bagi penderita kusta

Selain berganti nama, RS Kusta Kediri juga terus melakukan inovasi guna membantu penderita hidup normal, dan mandiri. Berbagai peralatan mulai kaki palsu, tangan palsu, hingga peralatan sederhana semisal penjempit sendok, sabun serta sandal kusus kusta juga terus dikembangkan.

Kaki maupun tangan palsu bagi penyandang cacat memang bagaikan lentera. Fungsinya tak sekadar menggantikan organ yang hilang, tetapi juga menjadi penentu masa depan. Hanya dengan menggunakan kaki maupun tangan palsu, mereka bisa beraktivitas layaknya manusia berfisik sempurna.

Di RS Kusta Kediri, aneka alat bantu bagi penderita kusta didesain dan dibuat sendiri oleh para tenaga medis yang dibantu para penyandang kusta. Mereka sengaja dilibatkan sehingga peralatan yang dibuat benar-benar menyesuaikan kebutuhan bagi pasien.

Rahmad Fajri, bagian ortotik atau pembuat alat tubuh gerak layu RS Kusta Kediri menuturkan, bahan pembuat kaki dan tangan palsu berupa silikon, block rubber (karet bongkah), fiber, semen putih, stokinet (bahan rajutan), spon, lem dan katalis (bahan kimia untuk pengering). Setelah melakukan pengukuran lubang kaki atau tangan yang diinginkan, barulah dilakukan pengecoran beberapa bahan, lantas dioven dan kaki maupun tangan palsupun selesai dibentuk dan tinggal melakukan pemolesan supaya halus.

Meski sederhana, tapi membuat tangan dan kaki palsu bagi penderita Kusta, tidaklah gampang. “Untuk penderita kusta lebih sulit dibandingkan penderita kecacatan biasa karena kulit penyandang kusta sangat tipis dan mudah lecet. Jadi harus dibuat yang sangat lentur sehingga tak melukai kulit,” kata Fajri.

Untuk pembuatan hingga finising satu kaki palsu khusus Kusta setidaknya membutuhkan waktu hingga satu bulan dengan harga antara Rp2,5 juta hingga Rp3 juta. Sementara untuk tangan palsu dibanderol Rp700 ribu hingga Rp1 juta.

Madura, Tapalkuda dan Pantura penyumbang terbesar kusta

Persepsi masyarakat soal penyakit Kusta diluruskan oleh dr. Slamet Riyanto, SpKK(K) pakar dan peneliti Kusta dari RS Kusta Kediri. Menurut dia, penyakit kusta bukanlah penyakit kutukan, melainkan murni disebabkan oleh bakteri bernama mycobacterium leprae, sehingga kusta juga sering disebut sebagai penyakit lepra.

Penyakit ini di dunia kedokteran dikenal sebagai morbus hansen, yang diambil dari nama penemunya yang merupakan sarjana Norwegia bernama GH Armauer Hansen pada tahun 1873.

Bakteri kusta sebenarnya hampir sama dengan bakteri tuberkulosis (TBC). Bedanya, TBC menyerang kelenjar, sementara kusta masuk melalui hidung dan menyerang saraf tepi. “Yang diserang saraf tepi sehingga penderita biasanya mati rasa di beberapa bagian tubuh,” kata dia.

Bakteri kusta hidup di dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Bakteri leprae dapat menyerang sistem saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran napas atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Hanya sistem saraf pusat yang tidak bisa diinfeksi bakteri tersebut.

Kusta sangat sulit menular. Bahkan hasil penelitian menyebutkan probabilitasnya hanya dua persen. Artinya kekebalan tubah manusia normal dengan mudah bisa menangkal kusta. Apalagi, masa inkubasi kusta mencapai lima tahun sehingga kuman yang masuk baru bisa bereaksi setelah lima tahun, itupun jika kekebalan tubuh penderita selama lima tahun memang sangat lemah.

Kusta, biasanya, menjangkit pada orang dengan kandungan gizi yang tak mencukupi sehingga kekebalan tubuhnya tak normal. Karenanya, kusta memang tumbuh subur di daerah pinggiran seperti Madura, kawasan Pantai Utara (Pantura), dan Tapal Kuda. Belum ada penelitian pasti kenapa kusta tumbuh subur di kawasan itu, kecuali memang kusta selalu menyerang orang dengan kandungan gizi yang minim.

Hal yang sama diungkapkan Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr, SpKK(K). FINSDV. FAADV. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini bahkan mengatakan penyakit ini hanya menjangkiti pasien yang mengalami kegagalan sistem imunitas seluler. “Jika kekebalan tubuh normal, bakteri ini akan sulit berkembang,” kata dia.

Kusta, sebenarnya juga hanya bisa menular jika terjadi kontak yang cukup lama dan terjadi terus menerus. Itupun penularan baru bisa terjadi jika manusia tersebut mengalami kegagalan sistem imun terhadap bakteri tersebut. Sehingga penularan kusta memang cukup sulit, jabat tangan atau ngobrol sesaat dengan penderita kusta, tidak akan mampu menularkan bakteri ini.

Kusta sendiri terbagi dalam dua jenis yakni pausi basiler (PB) yang biasanya menyebabkan kecacatan pada tangan dan kaki, serta multi basiler yang bersifat menyebar di beberapa bagian tubuh. Kecacatan sendiri terjadi karena bagian tubuh mengalami mati rasa sehingga ketika terluka, tubuh tidak bisa menyembuhkannya secara mandiri yang akibatnya terjadi kecacatan.

Penyakit kusta dengan mudah bisa diketahui jika muncul bercak pada kulit yang biasanya warnanya lebih gelap ketimbang kulit asli, atau kadang berwarna putih seperti panu. Selain itu, disaat bersamaan juga terjadi penebalan di beberapa bagian kulit yang disertai mati rasa.

Jika menemukan kondisi seperti ini, maka cukup melakukan tes sederhana yaitu dengan menggerakkan kapas ke bagian tubuh yang mengalami bercak. Jika tak ada rangsangan ketika kapas digerakkan perlahan, maka cobalah dengan menggunakan jarum kecil. Jika tusukan jarum tetap tak bisa dirasakan, kemungkinan besar yang bersangkutan telah menderita kusta.

Meski begitu, pasien kusta yang melakukan pengobatan rutin terbukti bisa disembuhkan dan bahkan tak sampai mengalami kecacatan. Apalagi, obat untuk penyakit ini juga sudah ditemukan. Bahkan WHO (World Health Organization atau organisasi kesehatan dunia) secara gratis juga telah memberikan obat kusta ke seluruh Rumah Sakit yang ada.

Sementara itu, dr Harsono, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur mengakui para penderita kusta sebagian besar berasal dari Madura, Tapal Kuda dan Pantura. Di Jawa Timur saat ini ditemukan sebanyak 4293 penderita kusta. Dari jumlah ini, 3054 penderita atau mencapai 71 persen memang berasal dari Madura, Tapal Kuda dan Pantura.

“Yang ditemukan sudah mengalami kecacatan sebanyak 184 orang, sedangkan penderita anak di bawah lima tahun sebanyak 177 anak,” kata Harsono. Menurut dia, penyakit kusta memang selalu endemis di daerah-daerah tertentu.

Mantan Bupati Ngawi ini lantas mencontohkan, di Ngawi, kusta hanya ditemukan di dua kecamatan yaitu Padas dan Pangkur. Memang belum diketahui secara pasti kenapa kusta hanya subur di daerah tertentu. Yang pasti, jika di daerah itu ditemukan penderita kusta, maka Dinas Kesehatan akan melakukan pemeriksaan di radius 20 rumah di sekitar rumah penderita.

Sayang, meski kebanyakan penderita berada di Madura, Tapalkuda dan Pantura, tapi RS Kusta yang dimiliki Pemerintah Jawa Timur malah berada di Kediri dan Mojokerto. “Dua rumah sakit ini memang peninggalan Belanda, jadi kedepan kita akan kembangkan untuk membangun di Madura,” kata Harsono.

Perang melawan stigma “kutukan” bagi kusta juga terus dilakukan. Bahkan sejak tahun 2010, seluruh puskesmas di Jawa Timur juga telah dilengkapi obat kusus kusta. Para penyuluh lapangan juga selalu memberikan bimbingan bagi warga sekitar untuk melepas stigma “kutukan” bagi penderita kusta.

Dua RS Kusta yang dimiliki pemerintah provinsi yaitu di Kediri dan di Mojokerto juga terus melakukan sosialisasi, penyembuhan dan pembekalan bagi para penderita. Tujuannya, agar pasien segera sembuh dan bisa diterima keluarganya.

Memang tak mudah, tapi stigma yang kini dialami Paidi serta beberapa rekan sesama penderita kusta lainnya, diharapkan segera hilang. Paidi sendiri kini hanya bisa berharap, stigma kutukan kusta segera sirna sehingga keluarga dan masyarakat sekitar segera bisa menerimanya. (fik)

Teks Foto :
-Rumah Sakit Kusta Kediri.
-Paidi Poro penderita Kusta asal Kediri menghibur diri dengan memainkan gamelan.
-Rahmad Fajri, bagian ortotik RS Kusta Kediri merampungkan pembuatan kaki palsu.
-dr. Slamet Riyanto, sedang memeriksa pasien kusta.
Foto-foto : Taufik suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs